Zamzami, Mohammad Subhan (2020) Bias Ideologis dalam Kodifikasi Hadis (Studi Musnad al-Rabî‘ ibn Habîb, Șaḥîḥ al-Bukhārî, dan al-Uṣūl min al-Kāfî). LKiS, Yogyakarta. ISBN 978-623-7717-60-9
|
Text
Bias Ideologi_Subhan_Lkis.pdf Download (2MB) | Preview |
|
|
Text
Bias Ideologis dalam Kodifikasi Hadis - LKiS (turnitin).pdf Download (24MB) | Preview |
Abstract
Persoalan hadis, sumber hukum kedua Islam Suni, lebih kompleks daripada persoalan AlQur’an, sumber hukum pertama Islam Suni. Kompleksitas hadis setidaknya mengerucut pada tiga poin utama, yaitu: (1) posisi hadis dalam Islam; (2) penulisan hadis; dan (3) konsep serta metode penetapan status hadis. Tiga poin ini masih menyisakan problem hingga saat ini, sehingga masih perlu dikaji kembali secara mendalam. Apalagi bila tiga poin ini dikaitkan dengan persoalan ideologi dan politik yang turut mewarnai dan menyelimuti perjalanan kajian hadis, terutama dalam proses kodifikasinya. Pertama, posisi hadis dalam Islam. Berbeda dengan Suni, Muktazilah memosisikan hadis pada posisi ketiga setelah rasio dan Al-Qur’an dalam hierarki sumber hukum Islam. Bahkan sebagian pengikut Muktazilah menolak hadis sahih versi Suni bila bertentangan dengan penalaran mereka. Selain itu, sejak masa klasik hingga masa kontemporer, ada segelintir orang yang menafikan hadis sebagai sumber hukum Islam seraya hanya mencukupkan diri pada AlQur’an. Kelompok mereka dikenal dengan kelompok Qur’a>niyu>n dan sikap mereka dikategorikan sebagai pengingkaran terhadap sunah (inka>r al-sunnah). Bias Ideologi dalam Kodifikasi Hadis 2 Kedua, penulisan hadis. Penulisan Al-Qur’an telah sempurna pada masa awal Islam, yaitu pada masa kekhilafahan Abu> Bakar al-S{iddi>q (w. 13 H/634 M) atas inisiatif brilian ‘Umar ibn alKhat}t}a>b (w. 23 H/644 M) dan di bawah kepemimpinan Zayd ibn Tha>bit (w. 35 H/656 M), sementara penulisan hadis relatif lebih lambat dan tidak sesemarak penulisan Al-Qur’an. Keadaan ini kian diperkeruh oleh instabilitas sosio-politik umat Islam kala itu. Instabilitas sosio-politik ini berdampak terhadap perkembangan hadis pada masa selanjutnya. Bahkan gemuruhnya masih terasa hingga saat ini, terutama di kalangan revisionis, baik Muslim maupun non-Muslim. Ketiga, konsep dan metode penetapan status hadis. Suni meyakini semua ayat Al-Qur’an adalah otentik berasal dari Allah melalui perantara Malaikat Jibril dan lisan Nabi Muhammad saw., sementara hadis bagi mereka tidak demikian. Bahkan jumlah hadis mutawatir dan hadis sahih yang diyakini otentik berasal dari Nabi Muhammad saw. relatif lebih sedikit daripada jumlah hadis yang kualitasnya di bawah hadis mutawatir dan hadis sahih. Perlu digarisbawahi, penetapan aneka macam status hadis yang dikenal luas hingga saat ini tidak berasal dari Nabi Muhammad saw. maupun para sahabat (tawqi>fi>), tetapi ia merupakan produk ijtihad (ijtiha>di>) para sarjana Muslim klasik lintas aliran dalam Islam pada masa sebelum, saat Mohammad Subhan Zamzami 3 kodifikasi hadis, dan sesudahnya. Setiap aliran dalam Islam memiliki konsep, metode, dan kriteria penetapan status hadis berbeda yang sarat diwarnai oleh persaingan ideologi dan politik kala itu.
Item Type: | Book |
---|---|
Subjects: | ?? m_118 ?? |
Divisions: | Fakultas Ushuludin dan Dakwah > Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir |
Depositing User: | Administrator Khazanah |
Date Deposited: | 22 Feb 2021 02:38 |
Last Modified: | 29 Dec 2023 07:50 |
URI: | http://repository.iainmadura.ac.id/id/eprint/315 |
Actions (login required)
View Item |