Turnitin Originality Report
- Processed on: 28-Feb-2023 13:20 WIB
- ID: 2025073553
- Word Count: 5828
- Submitted: 1
egalitarianisme By Pak Thoha 5
- Internet Sources:
- 83%
- Publications:
- 8%
- Student Papers:
- 71%
This is a preview of the print version of your report. Please click "print" to continue or "done" to close this window.
82% match (Internet from 07-Nov-2022)
https://www.ejournal.iaisyarifuddin.ac.id/index.php/bidayatuna/article/download/1916/646/5060
1% match (student papers from 22-Nov-2022)
Submitted to Krida Wacana Christian University on 2022-11-22
< 1% match (Internet from 22-Nov-2022)
https://ejournal.iainpalopo.ac.id/index.php/PiJIES/issue/view/272
Bidayatuna : Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah | Page : 173-187 Vol. x No. x Bulan Tahun | e-ISSN/p-ISSN : 27150232 / 26212153 Accredited SINTA 4 Ristek-Brin No : 200/M/KPT/2020 EGALITARIANISME PENDIDIKAN ISLAM (Telaah atas Pemikiran M. Fethullah Gűlen dan Korelasinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia) Mohammad Thoha1 1Institut Agama Islam Negeri Madura, Indonesia Email: thohasumberjati@gmail.com Submit: 19/05/2022 | Review : 21/07/2022 s.d 01/10/2022 | Publish : 19/10/2022 Abstract M. Fethullah Gülen, with its Gűlen Movement, pioneers the movement of social humanity. The primary mission is the implementation of values: love, tolerance, humanity, togetherness; sincerity; education, parenting, freedom, democracy, art, and environmental conservation. In this movement, education becomes an urgent mission to build humanity's values. In Indonesia, those values are described in a powerful bond of character education. Islamic boarding school (pesantren), the oldest Islamic study, has proved to have outcomes of education that contain human values. Panca Jiwa of pesantren, which consists of honesty, simplicity, high morality, breadth of knowledge, and experience training, is the evidence of the pesantren education system that focuses on egalitarianism and the same value of humanism. This short article tries to look for the successful key of the education model of the Gűlen Movement and correlates with the Islamic education system in Indonesia. . Keywords: Egalitarian; Fetkhullah Gűlen; Islamic education Pendahuluan Setiap manusia dilahirkan dengan membawa anugerah kekhasan individu masing-masing. Ini menuntut pengakuan terhadap hak azazi setiap orang. Namun demikian anugerah yang sifatnya individual tersebut, tidak akan tumbuh berkembang secara maksimal tanpa sentuhan individu-individu lainnya. Inilah fungsi utama sebuah komunitas1 D.C. Lawhon and T Lawhon, “Promoting Social Skill In Young Children,” Early Childhood Education Journal 28, no. 2 (2000). sosial. Satu individu berkontribusi pada tumbuhkembangnya individu yang lain.1 Keanekaragaman individu akan membentuk sebuah harmoni dalam kehidupan berkelompok (masyarakat). Hal ini akan terjadi, apabila setiap anggota komunitas tersebut dapat menghargai perbedaan dan mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan individunya.22 Made Adi Nugraha Tristaningrat, “Gagasan Egalitarianisme Dalam Permainan Dolanan Sebagai Media Pendidikan Karakter Anak Sekolah Dasar,” Jurnal Agama Hindu 21, no. 1 (2018). Sifat mengedepankan rasa kebersamaan dan pengakuan terhadap keanekaragaman yang azazi, akan menimpulkan sikap saling menghormati, rasa kesamaan hak, derajad dan kedudukan, rasa saling membutuhkan dan rasa ingin memberikan manfaat pada individu lain. Inilah makna dari egalitarian. Seseorang yang egaliter akan menganngap dirinya tidak memiliki derajat yang lebih dari orang lain, dalam segala hal yang melibatkan orang banyak. Misalnya dalam pelayanan sosial seperti layanan kesehatan, pendidikan, pemenuhan kebutuhan rumah tangga, dan sebagainya.3 Sifat egalitarianisme itulah yang menjadi misi utama M. Fethullah Gűlen dan diperjuangkan melalui “Gerakan Gűlen” atau lebih dikenal dengan Gűlen Movement. Gerakan sosial kemanusiaan berpusat di Turki dan telah menyebar ke lebih dari 140 negara. Misi utama dari gerakanini adalah penegakan rasa kemanusian dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Gerakan ini mengusung misi kemanusiaan secara pure dan lepas dari kepentingan politik, idiologi tertentu, dan segala label sektarianisme apapun. Rasa kemanusiaan yang melekat secara azazi pada setiap individu harus diperjuangkan dari tirani dan hegemoni siapapun. Dengan mengusung misi mulia ini, gerakan Gűlen menjadi sangat mudah menyebar dan diterima oleh masyarakat di seluruh dunia. 3 Tristaningrat. 4 Hamid Fahmi Zarkasyi, “Kimse Yok Mu,” accessed August 29, 2018, www.hidayatullah.com>EHomewordvie w. 5 B Mahendra, A Bramantyia, and Prakosa Heru, “Pergulatan Mistik Sosial M. Fethullah Di Turki sendiri, gerakan ini telah banyak mewarnai pola pikir masyarakat yang semula skuler menjadi sosial dan humanis. Demikian pula organisasi sosial ini telah banyak mengilhami munculnya beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang khidmah (hizmet) kemanusiaan.4 Demikian pula Gerakan Gűlen ini telah mengilhami gerakan-gerakan sosial kemanuasiaan yang lain di berbagai plosok dunia. Di Indonesia gerakan Gűlen ini, menggunakan jalur pendidikan sebagai sentral pengabdiannya, di samping bidang kemanuaisiaan lainnya. Di Indonesia gerakan ini hadir dan membentuk wadah Fethullah Gűlen Chair berpusat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan samapai saat ini sudah meluas ke Jawa Baarat,Jogyakarta, JAwa Timur, dan lainnya.5 Bahan dan Metode Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Dengan demikian penelitian ini memanfaatkan sumber- kepustakaan untuk memperoleh data yang relevan dengan pokok permasalahan.6 Penggalian data melalui rangkaian data pustaka yang memuat kajian sifat egalitarian yang semestinya ditunjukan oleh pengelola pendidikan. Demikian pula penggalian data difokuskan pada kegiatan yang dilakukan oleh Fathullah Gulen sebagai objek kajian ini. Gűlen Dan Chiara Lubich,” Jurnalisme Seribu Mata BASIS Menembus Bata, no. 11–12 (2012). 6 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, 2nd ed. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). Sedangkan pendekatan penelitian yang akan digunakan adalah pendekatan kualitatif. Peneliti dalam hal ini akan mendiskripsikan hasil temuan data yang berupa kajian tentang nilai-nilai kemanusiaan yang dicontohkan dalam gerakan Fethullah Gulen. Data yang diperoleh didiskripsikan secara utuh, tampa adanya analisa internalisasi terlebih dahulu dengan konsep manajemen sumber daya manusia. Dari data yang digambarkan apa adanya tersebut, peneliti melakukan analisa berdasarkan pendekatan yang digunakan,7 dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan studi tokoh yang diinterkoneksikan (interdisipliner) dengan pendekatan sosiologi pendidikan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi (record) yaitu menghimpun data-data yang menjadi kebutuhan penelitian dari berbagai dokumen yang ada, baik berupa buku, artikel, dan lainnya sebagai data penelitian.8 Data yang diperoleh dianalis melalui dua tahapan yaitu: deskripsi dan verifikasi. Hasil Dan Pembahasan Sekilas Tentang M. Fethullah Gűlens M. Fethullah Gűlen lahir di Erzurum Anatolia Timur Turki pada tanggal 27 April 1941 di tengah keluarga yang sederhana, religius dan salaf.9 Latar belakang keluarganya agalah penganut islam tradisional dan7 RC. Bodgan dan S.J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to the Social Sciences (New York: John Wiley and Son, 1985). 8 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Balai Pustaka, 2001). pengikut setia Thariqah Naqsabandiyah. Saat M. Fethullah Gűlen masih kecil, di Turki belum banyak sekolah pemerintah sehingga ia dididik oleh ibunya sendiri, Rafi’ah dan ayahnya Ramiz Efendi.10 Gűlen memiliki kelebihan dibandingkan dengan anak seusianya. Pada usia 15 tahun ia sudah menjadi pemuda yang kaya dengan pengetahuan. Pada usia itu ia telah dipercaya untuk mengajar dibeberbagai tempat termasuk tempat yang jauh dari rumah kediamannya. Pada usia belasan tahun itu juga ia telah membaca dengan lahap karaya-karya pemikir besar yang akhirnya sangat mempengaruhi jalan pikirannya. Ia dengan seksama mendalami pemikiran Said Nursi (1876-1960) melalui karya monomentalnya, Risale-i Nur. Demikian pula ia membaca karya ulama sufi klasik seperti Hasan al-Basti (w.728), Harith al-Muhasibi (w. 857), al-Ghazali (w.1111), Jalaluddin Rumi (w. 1273), Ahmad Faruqi Sirhindi (w. 1624), dan Shah Wali Allah (w. 1762). Di samping itu ia menyeimbangkan bacaanya dengan membaca karya pemikir- pemikir Barat seperti Victor Hugo dan William Shakespeare.11 Keterlibatan M. Fethullah Gűlen yang luar biasa dalam tradisi islam, mengantarkannya menjadi seorang pemikir muslim terkemuka. Demikian pula kehidupannya yang banyak bersinggung dengan berbagai latar belakang manusia menyebabkannya menjadi seorang humanis sejati. Penguasaannya yang9 Mahendra, Bramantyia, and Heru, “Pergulatan Mistik Sosial M. Fethullah Gűlen Dan Chiara Lubich.” 10 Mahendra, Bramantyia, and Heru. 11 Zeki Saritoprak and Griffith Sidney, “M. Fethullah Gűlen and The People of The Book: A Voice from Turkey for Interfaith Dialogue,” The Muslim Word 95, no. 3 (2005). baik dalam aspek pengetahuan, sosial, pendidikan, ekonomi, dan latar agama yang kuat menggiringnya untuk ikut terlibat dalam reformasi pendidikan di Turki pada tahun 1988- 1991.12 Meskipun demikian, tidak semua masyarakat Turki menyukai M. Fethullah Gűlen. Pemikirannya yang membuka ruang dialog yang bebas dengan semua idiologi agama menyebabkan kaum radikalis merasa terancam, terutama ketika M. Fethullah Gűlen bertemu dengan Faus Faulus II di Vatikan. Demikian pula ia harus keluar masuk pengadilan di Turki atas tuduhan pemerintah, bahwa ia merencanakan kudeta dan ingin menjadikan Turki sebagai Negara Islam. Tuduhan itu diperkuat dengan semakin seringnya M. Fethullah Gűlen pergi keluar negeri dan menetap di Pennsylvania, Amerika Serikat sejak tahun 1996. Meskipun pada putusan terakhir pengdilan pada tahun 2006, tuduhan itu tak terbukti dan M. Fethullah Gűlen dibebaskan dari seluruh dakwaan, namun kondisi psikologisnya telah terganngu sehingga ia memutuskan untuk mengajukan permohonan kewarganegaraan Amerika. Permohonan tersebut dikabulkan pengadilan Amerika tahun 2008 dengan status tenaga kerja asing dengan kemampuan khusus.13 Pokok-Pokok Pemikiran M. Fethullah Gűlen dalam Gűlen Movement Gerakan Gűlen (Gűlen Movement) identik dengan Hizmed in 12 “Fethullah Gülen’s Life,” accessed August 29, 2018, http://www.gulenmovement.com/fethullah -gulen/his-life. 13 Mahendra, Bramantyia, and Heru, “Pergulatan Mistik Sosial M. Fethullah Gűlen Dan Chiara Lubich.” Turkish. Spirit dan ruh gerakan ini adalah moral etik (sufistic) dan kemanusiaan (humanistic). Dengan spirit ini, Gűlen Movement menampilkan Islam yang kaya dengan nilai egalitarian, dan mentranspormasikan tradisi keislaman yang begitu majemuk ke dalam bentuk tatanan masyarakat modern. Gerakan ini betul-betul mendahulukan aksi daripada hanya sekedar ide dan slogan. Perhatiannya terhadap pengembangan masa depan generasi muda menjadikannya mendapat simpati dari hampir seluruh masyarakat dunia (The movement sets a precedent, not only with its activities, but also through its ways of generating financial support, thanks to its revivification of the Islamic values of giving and hospitality), sehingga banyak oarang rela mendonasikan 5-10% dari penghasilan mereka setiap bulan.14 Sekali lagi, misi utama dari Gűlen Movement adalah memasyarakatkan nilai-nilai kemanusiaan. Seorang individu telah dibekali dengan nilai humanism yang tidak dibekalkan pada makhluk lain. Dalam nilai humanism itu terdapat nilai etika, toleransi, cinta kasih, demokrasi, kesetaraan, kebersamaan, dan rasa keadilan. Hal itu semua menjadi hak azazi setiap individu yang harus diakui oleh semua umat manusia. Dengan demikian nilai-nilai dasar kemanusiaan itu harus diperjuangkan semaksimal mungkin melalui pendidikan, politik, pers, media dan kelompok-kelompok studi lainnya.15 14 “Short Description of the Movement,” accessed August 29, 2018, http://www.gulenmovement.us/gulen- movement/short-description-of- gulen-movement. 15 “Fethullah Gülen’s Life.” Pendidikan menjadi media paling strategis untuk mengarusutamakan nilai-nilai egalitarian. Oleh karena itu pendidikan semestinya menjadi contoh pertama dalam memandang kesamaan hak dan derajat manusia. Rasa kesamaan derajat akan menciptakan harmoni anatara umat manusia, dan harmoni umat manusia dengan alam semesta, sehingga dan cinta kasih dan keindahan lainnya akan terwujud pula.16 Lebih rinci, dalam Gűlen Movement, nilai-nilai kemanusiaan sebagai landasan sifat egalitarian yang harus terus diperjuangkan adalah sebagai berikut: 1. Cinta Kasih (Love) Setiap manusia yang dilahirkan dibekali dengan nurani dan perasaan. Tidak dibedakan oleh faktor apapun. Semuanya memilki rasa, harga diri dan emosi yang sama. Oleh karena itu rasa senang, bahagia, dan sebaliknya marah, tersinggung, dan sebagainya, yang dirasakan oleh seseorang pasti juga pernah dirasakan oleh orang lain. Oleh karena itu semua manusia harus mengupayakan untuk saling membahagiakan satu dengan yang lain, tidak boleh merasa ia lebih baik dan pantas didahulukan dibandingkan dengan orang lain. Rasa sepeti ini akan memupuk cinta kasih yang abadi antara sesam manusia17 Rasa cinta kepada sesama manusia harus diupayakan dan dilatih. Itu16 I Putu Gede Suyoga, “Pudarnya Egalitarianisme Pada Arsitektur Bali AgA,” Jurnal Agama Hindu 21, no. 1 (2018). 17 “Values,” accessed August 29, 2018, http://www.gulenmovement.us/gulen- movement/values- promoted-by- gulen-movement. merupakan implemintasi kecintaan seorang hamba pada Tuhannya. Manusia dengan segala perbedaannya adalah karunia Allah SWT yang harus disyukuri dan dicintai sebagai wujud syukur pada Allah SWT. Rasa cinta, sebenarnya telah dibekalkan oleh Allah SWt pada sanubari setiap individu mansusia. Bekal itu yang harus terus ditumbuhkembangkan sehingga menjadi nilai bersama dalam masyarakat.18 2. Tolrenasi (Tolerance) Toleransi menjadi isu pemikiran yang sangat penting bagi Gűlen Movement. Dalam hali ini meskipun mendapat banyak sorotan dan kritik M. Fethullah Gűlen tetap melakukan kunjungan ke Vatikan untuk bertemu dan berdialog dengan Paus Paulus II pada tahun 1998. Dalam dialog tersebut M. Fethullah Gűlen membicarakan perdamaian Timur Tengah sebagai bagian dari misi Gűlen Movement. Demikian pula ia bertemu dengan Jhon O’Connor, LSM Archbishop di New York yang sangat menyudutkan Islam, Leon Leavy yang memiliki kesamaan untuk memerangi diskriminasi, serta berdialog dengan pimpinan Yahudi Ortodik di Turki. Dalam pandangannya bahwa semua agama mengajarkan nilai etika dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan…“Humankind from time to time has denied religion in the name of science and denied science in the name of religion, arguing that the two present conflicting views. All knowledge belongs to God and 18 Ismail Albbayrak, “Main Chrasteristics of the Gülen Movement and the Importance of Education in Globalising Word” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education (Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010). religion is from God. How then can the two be in conflict? To this end, our joint efforts directed at inter- religious dialogue can do much to improve understanding and tolerance among people.”19 M. Fethullah Gűlen sangat mengecam tindakan teror 11 September 2001 yang menguncang gedung WTC di New York. Dalam symposium tanggai 11-13 April 2003 di Universitas Texas ia mengatakan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan dan tidak patut diidentikkan dengan teror. Islam adalah lambang perdamain. Dalam kesempatan itu pula M. Fethullah Gűlen membacakan riwayat tokoh-tokoh pejuang toleransi yang sudah sejak 5000 tahu yang lalu memperjuangkan toleransi, termasuk diantarnya Jesus, Buddha, Mohandas Ghandhi, Martin Luther King, dan Bunda Teresa.20 Toleransi bisa dicapai, apabila dialog antar agama dan komunikasi antar golongan terus dilakukan, setidaknya itu yang dijalankan oleh Gűlen Movement. Dalam pandangan Fethullah Gűlen, dialog dilakukan bukan untuk berdakwah atau mengajak mereka mengikuti keyakinan kita, melainkan itu dilakuakan karena rasa kecintaan terhadap mereka dan keyakinan bahwa mereka juga mencintai kita, antara kita dan mereka semuanya ingin mengedepankan persamaan dan dan menjauhkan perbedaan, semuanya menginginkan yang terbaik yaitu kedamaian.21 3. Rasa Perikemanusiaan (humanity) Nilai-nilai dasar kemanusiaan sepeeti kesetaraan, keadilan, hak, dan sebagainya harus diakui bersama tanpa membedakan idiolgi, ras, golongan dan sekat pemisah apaun. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tidak harus mengaburkan aqidah dan idiologi yang sifatnya privat dan personal. Isu kemanusiaan harus ditaruh sebagai kepentingan bersama. Perbedaan suku, bahasa, ras dan agama sekalipun harus dimaknai dalam dominasi personal, dan harus dilupakan ketika sesorang sudah berdiri pada ruang sosial. Inilah nilai dasar yang menajadi misi gerakan kemanuisaan Gűlen Movement.22 4. Keutuhan dan ketulusan (integrity) Semua orang memiliki kelemahan dan kelebihannya sendiri. Seseorang yang sedang menerima amanah sebagai kelebihan dari orwang lain seyogya dengan tulus menerima kritik dan saran serta masukan dari orang lain, meskipun itu bawahannya. Dengan ketulusan semacam ini cinta kasih dan saling menghargai akan senantiasa terjaga, tidak harus dipetakan siapa yang lebih dan yang kurang, siapa yang kuat dan yang lemah, siapa yang pandai dan yang kurang pandai, dan seterusnya.23 5. Kebutuhan pada pendidikan (education) 19 “Fethullah Gülen’s Life.” 20 “Fethullah Gülen’s Life.” 21 Amin Abdullah, Fethullah Gűlen and Character Education in Indonesi” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education (Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010). 22 “Values.” 23 “Values.” Pendidikan dilaksanakan untuk menggali sifat fitrah manusia yang suci, tidak ternoda oleh hasrat keduniawian yang serakah, dengki, dan sebagainya. Dengan munculnya sifat fitrah yang memang dibekalkan pada setiap manusia, maka kehidupan manusia akan berjalam damai, sentosa, penuh cinta kasih, dan saling menghormati. Pendidikan harus terus diupayakan untuk mengembalikan manusia pada ke- fitrah-annya.24 Demikian pula pendidikan akan mengantarkan manusia “menemukan kembali” nilai- nilai suci Tuhan yang telah dibekalkan kepada manusia sejak alam ruh.25 Masyarakat yang terdidik akan lebih mudah untuk bertoleransi, hidup dengan penuh kedamaian, cinta kasih, menghargai perbedaan, adil, dan seterusnya.26 6. Bimbingan dan asuhan (bringing up the young) Semua orang tidak bisa menentukan kondisi saat ia dilahirkan, apakah ia akan dilahirkan dengan kedua orang tuanya lengkap atau dalam keadaan yatim, sempurna fisiknya atau cacat, hitam atau putih, besar atau kecil, cerdas atau tidak, dan sebagainya. Oleh karena itu setiap bayi yang lahir memiliki hak yang sama untuk mendapat asuhan dan kasih sayang dari orang lain yang telah dilahirkan lebih dulu, meskipun ia dan bayi tersebut tidak memiliki hubungan darah. Rasa kemanusiaan harus menyatukan mereka dalam hubunga yang lebih kuat.27 24 “Values.” 25 “Values.” 26 Ali Ȕnsal, Gülen’s Perspective on Education: Foundations of His Ideas and Actions” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model 7. Kemerdekaan dan kebebasan (freedom) Kemerdekaan menjadi hak dasar semua orang. Demikian pula kemerdekaan akan mengantarkan seseorang untuk berkembang, maju dan mendapatkan hak-haknya yang lain. Kemerdekaan harus diberikan kepada semua bangsa. Demikia pula kebebeasan harus dimiliki oleh setiap individu. Norma dan etika yang diajarkan oleh semua agama adalah untuk melindungi kebebasan setiap orang sebagai hak dasar mereka.28 8. Demokrasi (democracy) Demokrasi adalah pangkal dari kesetaraan dan keadilan. Demikian pula demokrasi menjadi modal pembanguan masyarakat menuju kesejahteraan bersama. Demokrasi harus dijadikan prototype kehidupan bermasyarakat dan berkelompok.29 9. Kesenian (art) Seni harus dihormati sebagai bagian dari dari emosi dan rasa seseorang. Seni juga merupakan lambang kekuatan jiwa seseorang yang harus dipupuk dan dikembangkan. Seni juga berpotensi mempertemukan perbedaan dalam kesatuan rasa.30 10. Pelestarian lingkungan dan Konservasi alam (environment and nature) Keindahan adalah tujuan semua orang. Keindahan akan tercapai bilaman lingkungan terpelihara dengan baik. Oleh karena itu pelestarian lingkungan dan of Education. (Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010). 27 “Values.” 28 “Values.” 29 “Values.” 30 “Values.” konservasi alam menjadi tanggung jawab semua orang. Ini tidak cukup dijargonkan dalam ide dan slogan, tetapi harus diwujudkan dalam aksi yang nyata.31 Mengenal Model Pendidikan Gűlen dan Korelasinya dengan Pendidikan di Indonesia Pendidikan merupakan media paling efektif dalam menyiapkan sumber daya manusia yang menyadari fitrah-nya. Menyadari fitrahnya berarti sesorang dapat mengaktualisasikan dirinya untuk menyadari hak dan kewajibannya terhadap lingkungannya, serta menyadari nilai-nilai dasar kemanusiaan yang secara azazi dimiliki oleh setiap individu.32 Oleh karena itu pendidikan diperlukan, dan seyogyanya memang dipersiapkan sejak seseorang lahir, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga. Seiring dengan itu, penyediaan model pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman harus terus diupayakan. Demikian pula perumusan target, metodologi, pembaharuan sarana, peningkatan sumber daya guru harus terus dilakukan. Dalam hal ini Gűlen Movement telah memelopori gerakan pembaharuan pendidikan di berbagai Negara di belahan dunia.33 Di Indonesia Gűlen Movement hadir dengan nama Fethullah Gűlen Chair berpusat di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan menitikberatkan pada bidang pendidikan sebagai hizmet utamanya. 31 “Values.” 32 Ali Ȕnsal, “Intruduction” Dalam The Significance Of Education For The Future: Fethullah Gűlen Chair berkeyakinan bahwa dengan pembenahan model pendidikan, Indonesia berpotensi menjadi negara maju, mengingat ketersesdiaan sumber daya alam yang melimpah, namun belum ditopang dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Fethullah Gűlen Chair mengusung ide-ide pembaharua pendidikan yang digagas di Turki dan telah terbukti tidak hanya membawa Turki pada keamajuan pendidikan. Gerakan itu juga telah mengantarkan lebih dari 140 negara untuk memperbaharui model pendidikannya.34 Pada konfrensi internasional ke-10 yang diadakan Gűlen Movement di Jakarta tanggal 19-21 Oktober 2010, pendidikan menjadi isu utama yang dibicarakan. Pada konfrensi tersebut hadir para ahli pendidikan dari berbagai Negara seperti Australia, Bangladesh, India, Indonesia, Jepang, Korea, dan Amerika Serikat. Pada acara tersebut Fethullah Gűlen tidak bisa hadir secara langsung, sehubungan dengan kondisi fisiknya yang semakin lemah, namun demikian ia memberikan sambutan dan pengarahan secara tertulis. Pesan yang ia sampaikan pada kesempatan tersebut antara lain “……..temukan dan rumuskan model pendidikan yang mengantarkan manusia menyadari nilai kemanusiaannya…… temukan dan rumuskan problematika kemanusiaan dan rumuskan pula solusinya. Saya (Fethullah Gűlen) tidak butuh nama dan kalim keberhasilan, yang saya butuhkan adalah kesadaran bersama makna keadilan, kesetaraan, dan The Gűlen Model of Education (Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010). 33 Ȕnsal. 34 Ȕnsal. kemanusiaan. Hidup di dunia sebatas persinggahan, dan harus diorientasikan pada kehidupan akhirat yang kekal. Jadi isilah dengan hal yang baik. Temukan kesamaan dari semua orang, hindarkan perbedaan yang mengarah pada perpecahan, karena semua manusia menginginkan yang terbaik.”35 Oleh karena pendidikan diyakini sebagai modal menyiapkan pemimpin yang mempunyai moral dan karakter kemanusiaan, maka sejak dini pendidikan harus didesign untuk memunculkan nilai-nilai kemanusiaan yang egaliter, seperti toleransi, adil, jujur, dan saling mengasihi. Pendidikan harus mengantarkan peserta didik menemukan jati dirinya yang humanis dan saling terkait dengan individu di luar dirinya.36 Di Indonesia, visi pendidikan mengarah pada visi peningkatan nilai-nilai ke- Indonesia-an yang akhir-akhir ini disebut dengan pendidikan karakter.37 Pendidikan karakter harus diperjuangkan sebagaimana kita kemperjuangkan karakter bangsa agar tidak tergerus oleh karakter dan mintalitas bangsa lain. Bangsa Indonesia punya sejarah kemanusiaan yang bagus. Nilai-nilai suci dalam pancasila yang menggambarkan toleransi, pluralitas dan kemajemukan harus diwariskan dari generasi ke generasi. Bahkan toleransi yang dipraktekkan bangsa 35 M. Fethullah Gűlen, “The Message to The Tenth International Fethullah Gűlen Conference” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education (Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010). 36 McRobert Lewis, “Character Education as the Primary Purpose of Schooling for the Future,” Jurnal Ilmiah Peuradeun 4, no. 2 (2016): 137–46. 37 Abdullah, Fethullah Gűlen and Character Education in Indonesi” Dalam The Indonesia adalah toleransi yang terbaik yang pernah ada…..to be religious today in Indonesia is to be inter-religious.38 Dalam aplikasinya Model pendidikan Gűlen Movement yang dalam pembelajarannya menitikberatkan pada kesadaran hizmet dan “hosguru” memeiliki kesamaan dengan model pembelajaran di Pesantren Indonesia. Di pesantren dikenal dengan Panca Jiwa Pesantren (The Five Souls of Pesantren) yakni; Kejujuran (Sincerity). Kesederhanaan, (Simplicity), moralitas yang tingi (Hight Morality) (Wide Knowlwdge), keluasaan pengetahuan, dan pengalaman (Axperience).39 Dalam kondisi pembelajaran seperti ini peserta didik tidak diposisikan sebagai objek pengetahuan melainkan juga sebagai subjek yang aktif mencari pengetahuan sendiri melaui penelitian dan pengalaman mereka.40 Memang saat ini mereka sedang menerima pelajaran, tetapi pada saatnya nanti mereka yang akan memberikan pelajaran…..the students are not as consumers of knowledge but at the same time as producers of knowledge.41 Oleh karena itu tugas seorang guru tidak hanya mengajar, melainkan lebih dari itu ia harus Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.,218 38 Abdullah.,219 39 Abdullah.,221 40 Marthen Manggeng, “Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia,” INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual 8 (2005). 41 Abdullah, Fethullah Gűlen and Character Education in Indonesi” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.222mendidik.42 Apa yang dilakukan guru saat ini akan menjadi karakter bagi anak didikanya di masa yang akan datang. Sentuhan kemanusiaan antara guru dan murid akan mentranspormasikan nilai-nilai positif yang lain dari nilai kemanusiaan itu sendiri seperti toleransi, moralitas, kejujuran dan seterusnya.43 Guru mengemban misi suci sebagai “kepanjangan Tuhan” untuk menularkan nilai-nilai etika dan kemanusiaan pada generasi ke generasi, sehingga setiap saat akan lahir generasi emas (golden generation).44 Dalam model pendidikan Gűlen Movement -dan semestinya demikian pula dengan pendidikan karakter di Indonesia-, peran guru sangat penting. Seseorang bisa menjadi guru manakala memiliki setidaknya tiga kompetensi dasar, yakni intelektual, emosional dan spiritual, dimana ketinganya harus seimbang. Di samping itu guru harus memiliki imajinasi yang tinggi untuk mengantarkan peserta didiknya kelak pada kondisi yang ideal sebagai bagian dari masyarakat yang harmoni, penuh didikasi, toleran, dan seterusnya.45 Dengan demikian42 Mohammad Thoha, “Reformulasi Model Pembelajaran Kitab Kuning Di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan,” TADRIS : JURNAL PENDIDIKAN ISLAM, 2021, 453–64, https://doi.org/10.19105/tjpi.v16i2. 43 Albbayrak, “Main Chrasteristics of the Gülen Movement and the Importance of Education in Globalising Word” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.,32-33 44 Albbayrak.,29 45 David Tittensor, An Alternative Pilgramage: Teaching During Hizmet Abroad” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education (Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010). pelaksanaan pendidikan betul-betul berjalan dengan profesional. Di satu sisi etika dan spritualitas tidak harus diajarkan melalui serangkaian materi pelajaran agama, melainkan itu harus dipraktekkan dalam pergaulan keseharian warga belajar.46 Dalam hal ini, maka pertanyaannya adalah “bagaimana cara meningkatkan moralitas dan etika siswa, bukan bertanya bagaimana meningkatkan pemahaman siswa pada pelajarn agama”.47 Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa agama dan budaya (kebiasaan) harus menyatu dalam satu kesatuan gerak dan waktu, dibungkus dalam bingkai etika (together with mystical).48 Selain itu, semestinya pendidikan harus mempertemukan antara teori dan praktik. Pemikiran ini harus dimiliki bersama setiap unsur seperti kaum intelektual (guru), peserta didik, penyandang dana, pemegang kebijakan, jurnalis, dan unsur lainnya.49 Sementara itu, di satu sisi saat ini pendidikan kita di Indonesia belum mencerminkan nilai humanisasi yang baik. Kita masih terjebak dengan sistem yang membedakan peserta 46 Mohammad Thohaand R Taufikurrahman, “Revitalisasi Kelembagaan Madrasah Diniyah Di Pamekasan,” NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial Dan Keagamaan Islam 19, no. 1 (2022): 64–82, https://doi.org/10.19105/nuansa.v19i1.5446. 47 Abdullah, Fethullah Gűlen and Character Education in Indonesi” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.,223 48 Albbayrak, “Main Chrasteristics of the Gülen Movement and the Importance of Education in Globalising Word” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.,29 49 Albbayrak.,27didik antara yang pandai dan kurang pandai, yang miskin dan yang kaya, yang berbakat dan kurang berbakat, yang lemah dan yang kuat. Padahal semua anak didik memiliki kesempatan yang sama untuk pintar, untuk kaya, untuk kuat, untuk bisa. Dalam hal ini sekolah semestinya memperioritaskan mereka yang dianggap kurang pintar, kurang berbakat, miskin dan sebagainya. Bukankah teknik pembelajaran modern seperti “multiple intelegences” bisa diadopsi untuk mengejar ketertinggalan yang “kurang pandai,” bukankah pula sistem anak asuh dan asrama bisa dilakukan untuk menjembatani keterbatasan biaya bagi yang kurang mampu. Sekali lagi kita belum maksimal menerapkan nilai kemanuisaan dalam sistem pendidikan kita, sebagaimana yang telah dengan gemilang diterapkan dalam model pendidikan Gülen Movement.50 Beberapa Kunci Keberhasilan Model Pendidikan Gülen Movement Model yang diterapakan dalam sistem pendidikan Gülen Movement telah berhasil mengantarkan keberhasilan bagi siswa-siswanya, setidaknya dilihat 50 Abdullah, Fethullah Gűlen and Character Education in Indonesi” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.,224-225 51 Ahmet Orhan Polat, “The Key Factors Behind the Succes of Gülen –Inspired Schools” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education. (Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010).184-186 52 Mohammad Thoha, “Manajemen Peningkatan Mutu Ketenagaan Dan Sumber Daya Manusia (SDM) Di Madrasah Aliyah Negeri Pamekasan,” Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 2, no. 1 (2017). 53 Polat, “The Key Factors Behind the Succes of Gülen –Inspired Schools” Dalam The dari daya saing mereka di tingkat internasional, meskipun mereka berasal dari negara-negara kecil seperti Kyrgystan, Azerbeijan, Tajikistan, Kongo, Tunisia, dan sebagainya. Para siswa dari negara- negara kecil ini kerap kali meraih medali emas dalam olimpiade fisika dan ilmu eksakta lainnya di ajang internasional.51 Ada beberapa factor yang mendukung keberhasilan tersebut, diantaranya adalah: 1. Peran guru. Sebagaimana dijelaskan di atas dalam model pendidikan Gülen Movement, guru tidak hanya mengajar, tetapi ia juga mendidik. Interaksi dan bimbingan guru pada muridnya tidak hanya berjalan dalam kelas, tetapi setiap saat.52 Sehingga nilai-nilai etika dan spiritual terus dtranspormasikan.53 2. Hubungan guru dn murid dibangun berdasarkan kesetaraan dalam bingkai kemanusiaan yang saling mengasihi.54 Tidak dengan pola subjek-objek, tetapi dengan pola mitra yang menyambungkan nilai tradisi.55 3. Pendekatan personal. Seorang guru mengetahui secara pasti perkembangan dan kemajuan Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.,187 54 Rofiatun Rofiatun and Mohammad Thoha, “MANAJEMEN PEMBINAAN KEDISIPLINAN SANTRI DALAM MENGIKUTI KEGIATAN KEAGAMAAN DI PONDOK PESANTREN NURUS SHIBYAN AMBAT TLANAKAN PAMEKASAN,” Re-JIEM (Research Journal of Islamic Education Management) 2, no. 2 (2019): 278–87, https://doi.org/10.19105/re- jiem.v2i2.2937. 55 Polat, “The Key Factors Behind the Succes of Gülen –Inspired Schools” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.,188masing-masing peserta didiknya. Dengan demikian ia akan memberikan layanan lebih kepada siswa yang dianggap memiliki keterbatasan dibandingkan yang lain.56 4. Hubungan yang baik antara pihak sekolah, guru, orang tua siswa dan keluarganya. Ini penting untuk menimbulkan spirit bagi peserta didik.57 Hubungan dilakukan setiap saat dibutuhkan sebagai bagian dari bentuk kepedulian orang tua terhadap perkembangan anaknya.58 5. Formulasi kurikulum yang seimbang antara muatan ekstra kurekuler dengan kurikulum inti, sehingga peserta didik mendapatkan integralisi dari teori dan praktek.59 6. Jalinan kerjasama yang baik dengan dunia industri sehingga peserta didik dapat memanfaatkan masa libur untuk magang di tempat industri atau lapangan kerja yang sebenarnya.60 7. Kerjasama dan tukar pengalaman dengan sekolah yang setingkat, sehingga memungkinkan untuk saling memberikan masukan untuk pengembangan.61 56 Polat.,190 57 Mohammad Thoha and Ika Nurul Jannah, “PUBLIC RELATION DAN PEMBANGUNAN CITRA AGAMIS (Studi Implementasi Manajemen Hubungan Masyarakat Sebagai Upaya Membangun Citra Religius Di SMPN 1 Pamekasan).,” Re-JIEM (Research Journal of Islamic Education Management 1, no. 2 (2018): 35–43, https://doi.org/10.19105/rjiem.v1i2.2090. 58 Thoha and Jannah. 59 Polat, “The Key Factors Behind the Succes of Gülen –Inspired Schools” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.191 60 Polat.,192 61 Thoha and Jannah, “PUBLIC RELATION DAN PEMBANGUNAN CITRA AGAMIS (Studi Implementasi Manajemen Hubungan 8. Profesionalitas guru yang tinggi dalam mengembangkan program sekolah, sehingga siswa senantiasa diberikan pengalaman-pengalaman baru yang relevan dengan kondii masyarakata saat itu.62 9. Pihak sekolah melibatkan mentor dan pembimbing pendamping guru dalam beberapa materi. Mentor berasal dari praktisi materi yang sedang dipelajari, sehingga siswa di samping mendapatkan teori juga langsung memiliki pengalaman.63 10. Rasio perbandingan guru dan murid yang ideal yakni 1:9. Sebagai contoh di Kyrgystan pada tahun 2007 diperlukan 510 guru untuk 4616 siswa.64 11. Ketersediaan sarana fisik yang baik, sehingga membuat suasana belajar menyenangkan.65 Kesimpulan Gülen Movement telah menyadarkan kita terhadap pentingnya nilai kesetaraan, keadilan, persamaan hak, cinta kasih, toleransi dan sebagainya sebagai buah dari nilai dasar kemanusiaan. Islam dalam pandangan Gülen Movement harus Masyarakat Sebagai Upaya Membangun Citra Religius Di SMPN 1 Pamekasan).” 62 Polat, “The Key Factors Behind the Succes of Gülen –Inspired Schools” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.,193 63 Thoha and Jannah, “PUBLIC RELATION DAN PEMBANGUNAN CITRA AGAMIS (Studi Implementasi Manajemen Hubungan Masyarakat Sebagai Upaya Membangun Citra Religius Di SMPN 1 Pamekasan).” 64 Thoha and Jannah. 65 Polat, “The Key Factors Behind the Succes of Gülen –Inspired Schools” Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education.,194dihadirkan dengan wajah yang sejuk, ramah dan memberikan kedamaian. Perbedaan dan sektarianisme yang niscaya akan menyertai kehidupan manusia harus tunduk dan patuh pada kesamaan rasa dan saling memahami. Segala perbedaan itu harus dikesampingkan demi mengedapankan persamaan bahwa semuanya menginginkan yang terbaik, yaitu kedamaian (peace). . Referensi Pendidikan sebagai bagian dari kebutuhan dasar manusia harus diformulasikan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang sejatinya memang sudah dibekalkan oleh Tuhan yang Maa Esa. Pendek kata pendidikan harus mengembalikan manusia pada sifat ke-fitrah-annya. Sehingga manusia mampu mengemban amanah sebagai khalifah dengan sebaik-baiknya. Abdullah, Amin. Fethullah Gűlen and Character Education in Indonesi" Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education. Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010. Albbayrak, Ismail. "Main Chrasteristics of the Gülen Movement and the Importance of Education in Globalising Word" Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education. Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010. “Fethullah Gülen’s Life.” Accessed August 29, 2018. http://www.gulenmovement.com/fethullah-gulen/his-life. Gűlen, M. Fethullah. "The Message to The Tenth International Fethullah Gűlen Conference" Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education. Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010. Lawhon, D.C., and T Lawhon. "Promoting Social Skill In Young Children." Early Childhood Education Journal 28, no. 2 (2000). Lewis, McRobert. "Character Education as the Primary Purpose of Schooling for the Future." Jurnal Ilmiah Peuradeun 4, no. 2 (2016): 137–46. Mahendra, B, A Bramantyia, and Prakosa Heru. “Pergulatan Mistik Sosial M. Fethullah Gűlen Dan Chiara Lubich.” Jurnalisme Seribu Mata BASIS Menembus Bata, no. 11–12 (2012). Manggeng, Marthen. “Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia.” INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual 8 (2005). Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Polat, Ahmet Orhan. "The Key Factors Behind the Succes of Gülen –Inspired Schools" Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education. Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010. Rofiatun, Rofiatun, and Mohammad Thoha. “MANAJEMEN PEMBINAAN KEDISIPLINAN SANTRI DALAM MENGIKUTI KEGIATAN KEAGAMAAN DI PONDOK PESANTREN NURUS SHIBYAN AMBAT TLANAKAN PAMEKASAN.” Re-JIEM (Research Journal of Islamic Education Management) 2, no. 2 (2019): 278–87. https://doi.org/10.19105/re- jiem.v2i2.2937. Saritoprak, Zeki, and Griffith Sidney. "M. Fethullah Gűlen and The People of The Book: A Voice from Turkey for Interfaith Dialogue." The Muslim Word 95, no. 3 (2005). "Short Description of the Movement." Accessed August 29, 2018. http://www.gulenmovement.us/gulen- movement/short- description-of-gulen-movement. Suyoga, I Putu Gede. “Pudarnya Egalitarianisme Pada Arsitektur Bali AgA.” Jurnal Agama Hindu 21, no. 1 (2018). Taylor, RC. Bodgan dan S.J. Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to the Social Sciences. New York: John Wiley and Son, 1985. Thoha, Mohammad. “Manajemen Peningkatan Mutu Ketenagaan Dan Sumber Daya Manusia (SDM) Di Madrasah Aliyah Negeri Pamekasan.” Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 2, no. 1 (2017). ———. “Reformulasi Model Pembelajaran Kitab Kuning Di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan.” TADRIS : JURNAL PENDIDIKAN ISLAM, 2021, 453–64. https://doi.org/10.19105/tjpi.v16i2. Thoha, Mohammad, and Ika Nurul Jannah. “PUBLIC RELATION DAN PEMBANGUNAN CITRA AGAMIS (Studi Implementasi Manajemen Hubungan Masyarakat Sebagai Upaya Membangun Citra Religius Di SMPN 1 Pamekasan).” Re-JIEM (Research Journal of Islamic Education Management 1, no. 2 (2018): 35–43. https://doi.org/10.19105/rjiem.v1i2.2090. Thoha, Mohammad, and R Taufikurrahman. “Revitalisasi Kelembagaan Madrasah Diniyah Di Pamekasan.” NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial Dan Keagamaan Islam 19, no. 1 (2022): 64–82. https://doi.org/10.19105/nuansa.v19i1.5446. Tittensor, David. An Alternative Pilgramage: Teaching During Hizmet Abroad" Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education. Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010. Tristaningrat, Made Adi Nugraha. “Gagasan Egalitarianisme Dalam Permainan Dolanan Sebagai Media Pendidikan Karakter Anak Sekolah Dasar.” Jurnal Agama Hindu 21, no. 1 (2018). Ȕnsal, Ali. Gülen's Perspective on Education: Foundations of His Ideas and Actions" Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education. Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010. ———. "Intruduction" Dalam The Significance Of Education For The Future: The Gűlen Model of Education. Jakarta: Fethullah Gűlen Chair, 2010. "Values." Accessed August 29, 2018. http://www.gulenmovement.us/gulen- movement/values- promoted-by-gulen-movement. Zarkasyi, Hamid Fahmi. "Kimse Yok Mu." Accessed August 29, 2018. www.hidayatullah.com>EHomewordview. Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. 2nd ed. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Mohammad Thoha EGALITARIANISME PENDIDIKAN ISLAM (Telaah atas Pemikiran M. Fethullah Gűlen dan Korelasinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia) Mohammad ThohaEGALITARIANISME PENDIDIKAN ISLAM (Telaah atas Pemikiran M. Fethullah Gűlen dan Korelasinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia) Mohammad Thoha EGALITARIANISME PENDIDIKAN ISLAM (Telaah atas Pemikiran M. Fethullah Gűlen dan Korelasinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia) Mohammad Thoha EGALITARIANISME PENDIDIKAN ISLAM (Telaah atas Pemikiran M. Fethullah Gűlen dan Korelasinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia) Mohammad Thoha EGALITARIANISME PENDIDIKAN ISLAM (Telaah atas Pemikiran M. Fethullah Gűlen dan Korelasinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia) Mohammad ThohaEGALITARIANISME PENDIDIKAN ISLAM (Telaah atas Pemikiran M. Fethullah Gűlen dan Korelasinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia) Mohammad Thoha EGALITARIANISME PENDIDIKAN ISLAM (Telaah atas Pemikiran M. Fethullah Gűlen dan Korelasinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia) 174 | Vol. 5 No. 2 Oktober 2022 Vol. 5 No. 2 Oktober 2022| 175 176 | Vol. 5 No. 2 Oktober 2022 Vol. 5 No. 2 Oktober 2022| 177 178 | Vol. 5 No. 2 Oktober 2022 Vol. 5 No. 2 Oktober 2022| 179 180 | Vol. 5 No. 2 Oktober 2022 Vol. 5 No. 2 Oktober 2022| 181 182 | Vol. 5 No. 2 Oktober 2022 Vol. 5 No. 2 Oktober 2022| 183 184 | Vol. 5 No. 2 Oktober 2022 Vol. 5 No. 2 Oktober 2022| 185 186 | Vol. 5 No. 2 Oktober 2022 Vol. x No. x Oktober 2022 | 187