Turnitin Originality Report
- Processed on: 28-Feb-2023 13:25 WIB
- ID: 2025076311
- Word Count: 5237
- Submitted: 1
Reformulasi By Pak Thoha 6
- Internet Sources:
- 98%
- Publications:
- 11%
- Student Papers:
- 22%
2% match (student papers from 24-Jun-2022)
1% match (Internet from 03-Jan-2023)
<1% match (student papers from 02-Apr-2020)
<1% match (Internet from 05-Oct-2022)
Reformulasi Model Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan Mohammad Thoha1 1Institut Agama Islam Negeri Madura, Indonesia 1 thohasumberjati@gmail.com Abstract Keywords: Students; maktab; arabic book; acceleration. This article reveals the efforts made by Maktab Nubdzatul Bayan at Islamic boarding school Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan in providing a new breakthrough in accelerating the mastery of the Arabic book for children of basic education age. The pattern of accelerated learning as the key to this movement has been proven to lead to mastery of the Arabic book which is relatively short for the age of the children. With a qualitative approach and photographing objects naturally, this research data was obtained through interviews, observations activity and document review. The results of the study show that the Arabic book learning reformulation is carried out by: a button-up pattern of policy-making; placement of students as a learning center (student centered); implementation of student-based supervision; intense mentoring juniors; spiritual strengthening of caregivers; and small group based learning; competency test of graduates, and appreciation on student achievement. The success of this effort is influenced by several factors, they are; the same determination of all parties; the ideal comparative ratio between supervisors and students; standardized facilities and dormitory; conducive learning environment and great caregiver support. Abstrak: Kata Kunci: Santri; maktab; kitab kuning; akselerasi. Artikel ini mengungkap upaya yang dilakukan Maktab Nubdzatul Bayan Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan dalam memberikan terobosan baru percepatan penguasaan kitab kuning bagi anak usia pendidikan dasar. Pola pembelajaran akselerasi sebagai kunci dari gerakan ini terbukti mengantarkan penguasaan kitab kuning yang relatif singkat untuk usia anak-anak. Dengan pendekatan kualitatif dan memotret objek secara alami, data penelitian ini diperoleh melalui wawancara, pengamatan kegiatan dan telaah dokumen. Hasil studi menunjukkan bahwa reformulasi pembelajaran kitab kuning dtempuh dengan cara: Pola pengambilan kebijakan yang button-up; penempatan santri sebagai pusat belajar (student centred); penerapan pengawasan berbasis santri; pendampingan secara melekat pada santri junior; penguatan spiritual dari pengasuh; dan pembelajaran berbasis kelompok kecil (small group); uji kompetensi calon lulusan, dan adanya apresiasi terhadap prestasi santri. Keberhasilan upaya ini dipengaruhi oleh bebebrapa faktor: kesamaan tekad semua pihak; rasio perbandingan pembimbing dengan santri yang ideal; fasilitas belajar dan asrama yang standar; lingkungan belajar yang kondusif dan dukungan pengasuh yang sangat besar. Received : 01 Oktober 2021; Revised: 12 Desember 2021; Accepted: 23 Desember 2021 © Tadris Jurnal Pendidikan Islam http://doi.org/10.19105/tjpi.v16i2.5136 Institut Agama Islam Negeri Madura, IndonesiaThis is an open access article under the CC–BY-NC license 1. Pendahuluan Kitab kuning menjadi ukuran eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan isam tertua di nusantara. Keberlangsungan kajiannya menajdi ukuran konsistensi pesantren dalam mempertahankan kurikulum keagamaan.1 Cakupan kajiannya meliputi seluruh dimensi kajian keagmaan, mulai teologi (aqidah), hukum (fiqh), pranata sosial (akhlaq tasyawuf), ekonomi, politik, pendidikan, tata bahasa dan bahkan filsafat. Demikian pula gaya penulisan, tingkatan bahasa, dan pilihan narasi beragam model dijumpai dalam haazanah kitab kuning.2 Di pesantren kitab kuning menjadi ikon prestesius ke dalaman kajiannya. Bahkan ia menajdi sub kultur tersendir di antara pilar-pilar pesantren.3 Respon masyarakat terhadap sebuah pesantren dikaitkan dengan keberlangsungan kajian kitab kuning dan kedalaman variasinya. Demikian pula image santri dan alumni pesantren disandarkan pada seberapa banyak dan alim ia menguasai kitab kuning.4 Istilah kitab kuning lebih dipilih di kalangan pesantren, dibandingkan dengan istilah turats hal ini berangkat dari cakupan dari keduanya yang berbeda. Kitab kuning mengkaji seluruh peninggalan hazanah keilmuan ulama klasik dalam bingkau teologi sunni, sementara turats mencakup seluruh teologi klasik, baik Sunni, Mu’tazilah maupun Syi’ah.5 Sementara pesantren di Indonesia selama ini terbaca hanya beravialiasi pada teologi Sunni. Untuk menguasai dengan baik kandungan kitab kuning, diperlukan berbagai perangkat penyertanya. Hal ini dikarenakan sejatinya kitab kuning berbasis pada dua epestimologi sekaligus, yakni bayany di satu sisi dan ‘irfany di sisi lain. Epistimology bayany diperlukan karena kitab kuning mengandung berbagai perspektif kajian, mulai dari tata bahasa, fiqh, kalam, dan balaghah. Sementara epistimologi ‘irfany dibutuhkan untuk mengkaji demensi tasawwuf dalam setiap kajiannya.6 Selama ini, tradisi yang lazim terjadi di pesantren, untuk mendalami kajian kitab kuning diperlukan waktu yang lama, sampai bertahun-tahun. Demikian pula kompleksitas prasyarat untuk menguasai kitab kuning ikut memberikan kontribusi panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk betul-betul memahami kandungan kitab kuning. Kondisi seperti ini mutlak memerlukan terobosan baru dalam 1 Nurul Hanani, ―Manajemen Pengembangan Pembelajaran Kitab Kuning,‖ Realita 15, no. 2 (2017): 2. 2 Nurul Hanani, 5. 3 Mohammad Thoha, ―Eksistensi Kitab Kuning Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (Studi Analisis Tentang Penggunaan Kitab Kuning Sebagai Referensi Kajian Keislaman Di STAIN Pamekasan Dan STAI Al-Khairat Pamekasan,‖ Nuansa 16, no. 1 (2019): 56. 4 Mohammad Thoha, 57. 5 Nurul Hanani, ―Manajemen Pengembangan Pembelajaran Kitab Kuning,‖ 4. 6 Nurul Hanani, 5. pembelajarannya. Kecepatan dan kemudahan, dibutuhkan seiring tuntutan masa yang serba ingin cepat dan mudah. Demikian pula di dunia pesantren, perubahan dari sisi kelembagaan, kurikulum dan metodologi pembelajaran menjadi sesuatu yang niscaya dilakukan agar bisa terus memenuhi standar masyarakat.7 Maktab Nubdzatul Bayan Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Panaan Palengaan Pamekasan, oleh masyarakat Pamekasan lebih dikenal dengan ‗Pondok Kecil Pesantren Bata-Bata‘. Dikenal dengan nama demikian karena segmen santri yang dididik di maktab ini adalah santri berusia 9-15 tahun. Pola pembelajaran diselenggarakan dengan model yang sesuai dengan usia santri, tanpa harus mengenyampingkan bobot materi. Santri dikelompokkan dalam kelompok kecil terdiri atas 7-10 orang di bawah seorang pembimbing. Maktab Nubdzatul Bayan merupakan program baru dari sistem pendidikan secara umum di pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan. Sebagaimana pesantren yang lain pada umumnya, pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, memberikan layanan pendidikan agama dan keagamaan Islam pada santri dan masyarakat luas. Oleh akrena itu visi dan misi dari pesantren ini, senantiasa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang sangat dinamis, termasuk dalam menyiapka sumber daya manusia yang memiliki kompetensi ilmu keagamaan tapi dalam waku yang relatif terjangkau. Tuntutan ini melahirkan kebijakan pendirian Maktab Nubdzatul Bayan tersebut. Kebijakan yang ditempuh pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, didasarkan pada respon masyarakat yang masih tetap tinggi pada lembaga pesantren. Secara historis, pesantren adalah institusi lembaga pendidikan keagamaan tertua di Indonesia. Oleh karena itu pesantren telah banyak mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejak sebelum, menjelang dan sesudah kemerdekaan bangsa ini. Kurikulum pesantren yang di zaman dahulu hanya berkisar pada kajian keagamaan, saat ini telah dikembangkan sedemikian rupa hingga dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman.8 Dalam perkembangan sistem pendidikan nasional, pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan keagamaan berbasis masyarakat yang secara langsung bersentuhan dengan dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri.9 Demikian pula opini masyarakat yang tetap mempercayai pesantren sebagai pusat pembinaan mental, saat ini semakin bertambah dengan menaruh harapan terhadap penyediaan sumber daya manusia yang paripurna dalam segi keilmuan, mental, spritual dan kepribadian.10 Ini memperkuat ungkapan bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari budaya dan pola hidup masyarakat. Tiga unsur utama kebutuhan masyarakat yang berupa agama, budaya dan pendidikan harus selalau serasi dan saling melengkapi.11 7 Ahmad Syauqi Fuady, ―Pembaharuan Sistem Pendidikan Di Pesantren,‖ Jurnal Al- Insyiroh : Jurnal Studi Keislaman 6, no. 1 (2021): 108–10. 8 Disarikan dari : Abdurrahman Wahid, ―Pondok Pesantren Masa Depan,‖ in Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan Dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), 15. 9 Dalam regulasi pendidikan, pesantren atau pondok pesantren dirumuskan sebagai lembaga pendidikan keagamaa Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya. Lihat pasal I ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007, ―Tentang Pendidikan Agama Dan Keagamaan‖ (2007). 10 Mohammad Thoha, ―Peran Pesantren Sebagai Agen Sumber Daya Manusia Profesional Berkualitas,‖ ’Anil Islam 5, no. 1 (2012): 131. 11 Hasil penelitian Lee Kim Hing menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia dibangun di atas ketiga unsur tersebut (agama, budaya dan pendidikan). Dengan demikian ketiganyaSesuatu yang menarik dari penyelenggaraan pendidikan di Maktab Nubdzatul Bayan Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata adalah unsur peserta didiknya (santri) yang relatif masih berusia pendidikan dasar (9-15 tahun). Dalam regulasi pendidikan, usia ini tegolong pada usia pendidikan dasar, di mana peserta didik masih membutuhkan bimbingan secara langsung dari guru dalam segala bentuk kegiatan belajarnya. Kondisi psikologis usia ini juga belum bisa dipisahkan dari dunia bermain dan berkumpul dengan orang tua.12 Tentunya menjadi tantangan dan kesulitan tersendiri bagi para pendidik untuk mengatur dan memfokuskan perhatian kegiatan belajar mereka, terutama mengadapi materi pelajaran kitab kuning. Permasalahan metodologis, menjaga motivasi, dan merubah anggapan bahwa kitab kuning pasti bisa dikuasai dengan cepat dan aman, menjadi sangat menarik untuk diteliti. Tulisan ini berbasis laporan penelitian penulis yan dilakukan pada tahun 2014, dan dilakukan pembaharuan data pada tahun 2018 dan 2020. Dengan menggunakan analisis pendekatan manajemen pendidikan dan psikologi santri, penelitian ini mengahasilkan sesuatu yang baru dibandingkan dengan beberapa penelitian yang ada tentang objek kajian Maktab Nubdzatul Bayan. 2. Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan natural setting dari studi lapangan. Sumber data dalam penelitian ini ada dua kelompok, yaitu pertama adalah sumber data berupa manusia yang terdiri atas: pengasuh pesantren, ustad dan pembina atau pengurus, serta santri. Kedua berupa sumber data non manusia yaitu dokumen terkait dan hasil pengamatan dari kegiatan pembelajaran kitab kuning di pesantren. Teknik pengumpulan data meliputi: observasi, wawancara dan dokumen terkait. Data yang diperoleh dianalisa dengan langkah-langkah reduksi data, penyajian, dan pengambilan kesimpulan. Sementara untuk memperoleh keabsahan data, peneliti melakukan triangulasi sumber, metode, dan waktu. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Tujuan Reformulasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Maktab Nubdzatul Bayan Maktab Nubdzatul Bayan sebagai bentuk respon pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata dalam memberikan layanan pembelajaran kitab kuning dan dirasat islamiyyah dalam waktu yang relatif singkat. Program ini di-launching pada tanggal 2 Pebruari 2008 silam. Visi utama dari terobosan ini adalah percepatan (akselerasi)13 pembelajaran kitab kuning, sekaligus revitalisasi gairah belajar akan senantiasa saling mewarnai. Selengkapnya baca Lee Kim Hing, Education and Politic In Indonesia 1945-1965 (University of Malaya Press, n.d.), 93. 12 Pendidikan Dasar adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang diselenggarakan pada satuan pendidikan berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, atau bentuk lain yang sederajat. Lihat pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010, ―Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.‖ (2010). 13 Dalam makna regulasi pendidikan, Akselerasi adalah bentuk pelayanan pendidikan secara khusus yang diberikan kepada peserta didik yang memeiliki tingkat kecerdasan di atas kemampuan rata-rata usianya serta dipandang cakap untuk menyelesaikan program pendidikan lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Lihat: Yustinus Samiun, Kesehatan Mental (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 14. kitab kuning bagi santri. Akselerasi yang dimaksud di sini adalah sistem pembelajaran yang menitik-beratkan pada kecepatan penguasaan materi tanpa dibatasi dengan ketentua waktu. Santri yang lebih cepat menguasai satu tingkatan materi akan segera mempelajari tingkatan berikutnya, demikian pula seterusnya. Dengan demikian waktu yang dibutuhkan seorang santri dalam menyelesaikan seluruh program di Maktab ini, akan bervariasi dengan santri yang lain, sesuai kecepatan yang dimilikinya. Target yang ditentukan dalam program akselerasi tersebut adalah penguasaan kitab Nubdzatul Bayan karya KH. Abd. Mu‘in Bayan, yang terdiri atas 5 jilid. Masing masing jilid merupakan rangkuman intisari dari kitab-kitab Nahw, S{arf, I’lal, I’rab, dan Balaghah. Masing-masing jilid dari kitab tersebut diprogramkan harus dikuasai setiap santri maksimal dalam masa 20 hari, sehingga dalam masa 125 hari setiap santri sudah mengusai kitab Nubdhat al Bayan secara keseluruhan. Pada masa berikutnya, santri difokuskan pada pemahanan ilmu Tawhid, Fiqh dan Tas}awwuf. Pembelajaran dilaksanakan siang dan malam, dengan cara diskusi dan presentasi. Pada masa belajar 2-3 tahun santri akan diuji dengan materi penguasaan kitab-kitab seperti Fath al Qarib, Bidayat al-Mujtahid, Nihayat al-Zayn, Riyad} al-Badi’ah dan sebagainya. Ujian dilaksanakan oleh tim independen dalam dua tahap. Pertama di dalam kelas, dan kedua di depan halayak umum pada masa I’lan, sekaligus pelaksanaan wisuda. Pada ujian terbuka (tahap kedua) tersebut hadirin atau audien boleh mengajukan pertanyaan secara bebas dan spontan.14 Lebih jauh, program akselerasi dan formulasi pola pembelajaran ini, dipilih melihat respon masyarakat terhadap pesantren semakin tinggi. Sedangkan kompleksitas kebutuhan dan tuntutan juga sakin variatif pua. Di sisi yang berbeda masyarakat atau santri tidak bisa berlama-lama menempuh pendidikan pesantren sebagaimana pada zaman dahulu. Mereka akan memilih keluar dari pesantren jika sudah enyelesaikan pendidikan MTS, atau MA. Artinya keberadaan mereka di pesantren seperti siklus tiga tahunan dan enan tahunan. Waktu yang relatif singkat tersebut tidak memadai untuk menguasia kitab kuning dengan model pembeajaran tradional. Untuk menjembatani animo masyarakat yang tinggi terhadap pesantten dan kepentingan penguasaan kitab kuning dalam waktu yang relative singkat tersebut, diperlukan terobosan akselerasi. Fenomena semakin tingginya minat masyarakat terhadap pesantren tersebut, menurut Azra merupakan gambaran bahwa keberadaan pesantren dewasa ini justru semakin dibutuhkan sesuai dengan pergolakan mental bangsa ini, yang terbukti tidak cukup diselesaikan dengan penanaman keilmuan (intelektual) belaka, akan tetapi sangat membutuhkan adanya pembinaan mental spritual yang tangguh untuk mengimbangi kemajuan teknologi dengan berbagai implikasi negatifnya.15 Seperti halnya Azra, Syarif mengatakan bahwa pendidikan utama dan pertama yang dibutuhkan oleh generasi muda Indonesia adalah pendidikan yang berbasis mental agama yang kuat. Dan untuk ini pesantren adalah jawabannya, mengingat di pesantren dikembangkan pola internalisasi nilai-nilai ajaran Islam yang diintegralkan dengan berbagai keilmuan lainnya.16 14 Disarikan dari : Sarkawi, ―Sistem Pembelajaran Pondok Cilik Maktab Nubdzatul Bayan Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan,‖ Tadris Jurnal Pendidikan Islam 7, no. 2 (2012): 268–309. 15 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 2003), 53–74. 16 Syarif Hidayatullah, ―Rekonstruksi Pemikiran Islam: Alternatif Wacana Baru,‖ in Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan Dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), 36. Multikrisis yang melanda bangsa ini membuat para pakar pendidikan kembali menoleh pada pesantren sebagai solusi pemberdayaan pendidikan berkebangsaan dan berkepribadian islami yang akan membawa nuansa sejuk berbasis hati nurani dalam menyediakan sumber daya manusia untuk mengentaskan krisi tersebut.17 Demikian pula sistem penerimaan santri baru yang tidak membatasi dengan pola zonasi, menjadi pertimbangan lanjutan bagi masyarakat untuk pendidikan anaknya.18 Selain itu tujuan reformulasi pola pembelajaran, adalah untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi santri. Menurut Ust. Syafiuddin, salah satu pengajar, santri yang rata-rata berusia anak-anak dan remaja sering mengalami kondisi kejenuhan. Oleh karena itu pengurus dan ustad dituntut untuk bisa menciptakan suasana yang menyenangkan bagi mereka. Suasana itu senantiasa harus bernuansa baru. Oleh karena itu dalam menjalankan aktifitas belajar santri diberi kebebasan untuk memilih tempat belajar, media, strategi dan pola interaksi antar ustad dan peserta didik. Dengan demikian diharapkan mereka betah untuk belajar sepanjang hari.19 Suasana mobile tersebut peneliti amati dalam kegiatan-kegiatan diskusi, penyiapan materi presentasi, proses menghafal, dan menyetorkan hafalan. Kadang peserta didik menghafal sambil bermain alat musik (tradisional), bermain gramball, dan sebagainya. Demikin pula ketika mereka makan, mereka makan sambil menghafal bait-bait kitab anzimat al-bayan atau amthilat al-tasrifiyyah. Dalam pengamatan peneliti mereka melakukan seluruh aktifitas dengan senang dan suasana bahagia.20 3.2. Bentuk reformulasi model pembelajaran kitab kuning di Maktab Nubdzatul Bayan Reformulasi model pembelajaran diwujudkan dalam beberapa kebijakan berikut: a. Pola pengambilan kebijakan. Dalam pembelajaran di pesantren, lazimnya, ustad bertindak sebagai manajer yang menentukan pola kebijakan jalannya pembelajaran. Sementara peserta didik patuh dan siap melaksanakan kebijakan tersebut. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Maktab Nubdzatul Bayan. Santri sebagai peserta didik menentukan kebijakan pengelolaan model pembelajaran, startegi, media, tempat dan waktu belajar. Sementara ustad menentukan target pembelajaran. Ustad sebagai pimpinan kelompok akan mengatur kegiatan kelompoknya berdasarkan kemauan peserta didik. Bertitik tolak dari keunikan ini, relasi dan bentuk komunikasi antara peserta didik dengan pengelola Maktab, memberikan kontribusi yang dapat mengantarkan ketercapaian tujuan, yakni percepatan (akselerasi) pembelajaran kitab kuning. Relasi yang nyaman antara santri sebagai peserta didik dengan ustad sebagai pendidik akan menunjang keberhasilan tujuan pembelajaran.21 17 M. Fajrul Falaakh, ―Pesantren Dan Proses Sosial-Politik Demokratis,‖ in Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan Dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), 166. Bandingkan dengan Maksum Mochtar, ―Transformasi Pendidikan Islam,‖ in Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan Dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), 193. 18 Mohammad Thoha dan H.A Ghazali, ―Dampak Penerapan Sistem Zonasi Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru,‖ Tadris Jurnal Pendidikan Islam 15, no. 1 (2020): 146. 19 Ust. Syafiuddin, wawancara tanggal 18 Nopember 2014. 20 Observasi, tanggal 24, 25, 26 dan 30 Nopember 2014. 21 Mohammad Thoha, ―Pembelajaran Bahasa Arab Dengan Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah,‖ Okara 6, no. 1 (2012): 82. b. Santri sebagai pusat belajar (student centred). Peserta didik (santri) baru diberi kelonggaran untuk tidak mengikuti kegiatan secara penuh. Hal ini dapat dicontohkan, sebagian dari mereka masih belum kuat secara fisik untuk bangun pada pukul 03:30 dini hari untuk menjalankan s}alat tahajjud, melakukan mut}alaah mulai pagi-pagi pukul 04:15; shalat shubuh yang dilanjutkan dengan wirid dan ruqiyyah22, s}alat d}uha, dan sebagainya, di mana selama di rumah mereka jarang atau belum pernah melakukannya. Sehingga pada awal-awal mereka berada di lingkungan Nubdhat al-Bayan, mereka seakan-akan menghadapi pola kehidupan yang berbeda sama sekali dengan kebiasaan di rumah. Untuk itu pengurus membimbingnya untuk bisa mengikuti kegiatan secara berangsur-angsur. Proses adaptasi ini menurut pengurus biasanya berlangsung paling lambat satu bulan pertama.23 c. Pengawasan berbasis santri. Setiap santri baru diberi buku saku yang berisi pedoman dan tata tertib serta jadwal kegiatan harian Nubdhat al- Bayan. Buku Saku tersebut harus dibawa setiap saat, serta disuruh baca bersama-sama oleh pembimbing pada saat-saat tertentu. Pola ini berupaya membuat peserta didik menghayati keberadaan mereka di lingkungan barunya, serta merasa menyatu dengan lingkungan baru tersebut. Menurut Nor Holis, salah satu pembina, setiap kali peserta didik membaca buku saku, mereka merasa kembali bersemangat dan menemukan energi baru.24 d. Pendampingan dan pembimbingan secara melekat pada santri junior. Untuk santri baru yang berusia di bawah 10 tahun dipilihkan ustad pendamping yang dipandang memiliki pengetahuan psikologi lebih dibandingkan pembimbing lain. Pembimbing untuk kelompok peserta didik baru biasanya ditunjuk dari pembimbing senior atau yang sudah berpengalaman. Keberadaan mereka semaksimal mungkin berusaha menggantikan keberadaan orangtua bagi santri. Dalam pengamatan peneliti, mereka betul-betul menyatu dengan kejiwaan santri, mereka menemani belajar, membimbing materi sambil bermain, membaca bait- bait naz}am-an bersama anak buahnya, menemani makan, dan sebagainya.25 Di samping itu, pembinaan disiplin dilakukan pula pada kegiatan bersama dengan kelompok lain, misalnya pada acara khitabah malam Jum‘at, sholawatan atau diba’iyyah setiap malam Selasa, dan pada acara-acara bersama santri ―besar‖ (umum) di lingkungan pesantren Manba‘ al ‗Ulum Bata-Bata e. Penguatan spiritual dari pengasuh. Menurut Nor Holis, pada waktu-waktu tertentu, para santri diberi semacam air rajah untuk diminum, terutama bagi santri yang mengalami problem khusus, misalnya tidak betah atau selalu ingin pulang. Air tersebut diberikan oleh ketua program atau langsung dimintakan kepada pengasuh Maktab. Masih menurut Nur Holis, selama ini, biasanya santri yang diberi minum dari pengasuh menjadi 22 Ruqiyyah adalah kegiatan membaca berabagai wiridan dan surah-surah al-Qur‘an sebelum dan sesudah shalat fardu. Hal ini dilakuakn menurut KH. Moh. Hasan untuk mengimbangi pemenuhan intelektual dengan keteduahan spiritual menurut beliau juga hal ini untuk mempertahankan nilai-nilai barokah bagi santri. KH. Moh. Hasan, Wawancara, 24 Nopember 2014. 23 Abd. Syakur (bagian Kurikulum), Wawancara 22 Nopember 2014. 24 Wawancara dengan Nor Holis, tanggal 1 Oktober 2014 di kediaman Nur Holis Pamoroh Kadur Pamekasan. 25 Observasi tanggal 19 Oktober 2014. lebih tenang dan lebih cepat beradaptasi. Rasa tenang yang diperoleh santri, bisa saja berasal dari sugesti mereka yang beranggapan bahwa mereka diperhatikan kiai, mereka senantiasa didoakan, mereka akan aman bersama kiai, dan seterusnya. Dalam teori psikologi, pendekatan yang digunakan kiai, bisa dikelompokkan pada teori psikologi humanisme dengan aliran psikologi spiritual, di mana kiai atau ustad bertindak sebagai konselor, sementara peserta didik yang diterapi sebagai klien bukan pasien. Dalam hal ini klien diposisikan sebagai mitra yang sejajar sehingga merasa tidak ada jarak dan merasa aman bersama konselornya. Toeri keterkaitan spiritual dengan psikologi digagas oleh Rown. Ia menyebut pula bahwa psikologi spritua tersebut dengan sebutan ―psikologi transpersonal‖ dimana Rown sebagaimana dikutip Matt Jarvis mengatakan; ―Manusia dipelajari dari dimensi spritualitasnya. Ini adalah bidang-bidang diri yang kekal dan tanpa batas, hal-hal mutlak yang membuka kesadaran, kebahagiaan, kesatuan dengan ketuhanan, pencerahan dan sebagainya.26 f. Pembelajaran berbasis kelompok kecil (small group). Dalam menjalani aktifitas kesehariannya, santri di Nubdzatul Bayan, dikelompokan ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas 7- 10 orang. Dalam pengamatan peneliti, ada kelompok yang terdiri atas 7, 9, 10, 12, dan ada juga yang sampai mencapai 14 orang. 27Setiap kelompok dibimbing secara full time oleh seorang pembimbing. Satu kelompok tersebut menempati satu asrama bersama pembimbingnya. Mereka melaksanakan kegiatan secara bersama, mulai dari presentasi pelajaran, menelaah, diskusi, menyetor hafalan, bermain, makan, istirahat dan semacamnya. Pembimbingan seperti ini memebrikan dampak efektif pada kedisiplinan santri28 rasa persaudaraan ini yang mengantarkan santri memiliki karakter yang baik sebagai beka kehidupan bermasyarakat di kemudian hari.29 g. Uji kompetensi calon lulusan. Sebelum diwisuda, setiap santri harus menjalani serangkaian tes dan ujian. Bentuk ujian kompetensi antara lain; 1) Melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL). PPL dilaksanakan di Madrasah Aliyah (MA) Mambaul Ulum Bata-Bata. Titik tekan keberhasilan PPL ini adalah kecakapan kompetensi akademik saja. Jadi peserta hanya diuji dan dievaluasi seputar penguasaan materi atau bahan ajar. Sedangkan kompetensi paedagogis, personal dan sosial tidak menjadi penilain tim penguji; 2) Dinyatakan lulus dalam ujian tiap tingkat (takhassus) yang dibuktikan dengan sertifikat I’lan. Pelaksanaan I’lan diselenggarakan bagi setiap peserta didik yang berhasil menyelesaikan satu disiplin ilmu (fann) di tingkat (takhassus) I, II dan III; 3) Dinyatakan lulus dalam I’lan hafalan bait-bait pelajaran dari seluruh pelajaran (Az}amat al-Bayan) yang dipelajari sejak tingkat (takhassus) I; 4) Dinyatakan lulus dalam pelaksanaan ujian komprehensif yang digelar secara khusus menjelang pelaksanaan wisuda. Upaya menjaga mutu dalam setiap kondisi yang dilakukan pesantren menimbulkan kepercayaan yang stabil dari masyarakat. Kegiatan pesantren tidak selalu 26 Matt Jarvis, Theoritical Approaches In Psychologhy (London: Routledge, 2000), 89. 27 Observasi tanggal 21 Nopember 2014. 28 Rofiatun and Mohammad Thoha, ―Manajemen Pembinaan Kedisiplinan Santri dalam Mengikuti Kegiatan Keagamaan di Pondok Pesantren Nurus Shibyan Ambat Tlanakan Pamekasan,‖ Re-JIEM 2, no. 2 (2019): 282. 29 Mohammad Thoha, ―Orientasi Santri dalam Menempuh Pendidikan Pesantren di Pamekasan,‖ Nuansa 10, no. 1 (2013): 63. dikaitkan dengan ketersediaan dana. Akan tetapi jiwa pengabdian secara totalitas yang ditunjukan santri dan para pembinanya menjadi alasan tetap eksisnya pesanten sampai saat ini.30 h. Apresiasi terhadap prestasi santri. Upacara pelepasan santri yang telah dinyatakan tamat, dilakukan dalam sebuah upacara besar yang dihadiri segenap santri, wali santri, dan segenap majelis pengasuh, termasuk pengasuh pusat pesantrena Mambaul Ulum Bata-Bata. Upacara ini lazim disebut dengan wisuda. Wisuda diperuntukkan bagi peserta didik yang dinyatakan tamat dan lulus pada tingkat terakhir (takhassus} IV) dari seluruh pelaksaan pembelajaran di Maktab Nubdzatul Bayan. Pada pelaksanaan wisuda ini digelar ujian terbuka, di mana calon wisudawan diwajibkan menjawab pertanyaan dari para hadirin secara langsung dan terbuka. Para hadirin dipersilahkan mengajukan pertanyaan seputar masalah keagamaan, khususnya yang telah dipelajari Maktab Nubdzatul Bayan. Dalam pengamatan peneliti, pertanyaan yang diajukan hadirin betul-betul sepontan dan masuk pada materi-materi yang sangat mendalam dalam kajian ilmu Nahw, Sharf, Faraid, ‘Arud, Balaghah, Usul al-Fiqh (Qawaid al-Fiqh), ‘Ulum al-Qur’an dan ‘Ulum al-Hadith, sesuai dengan disiplin kajian (fann) yang telah dikaji dan didalami selama belajar. Ada juga undangan yang meminta calon wisudawan untuk membaca kitab kuning secara langsung, dan kebetulan kitab yang diberikan adalah kitab I’anah al-Talibin sharkh Fatkh al-Mu’in. Hadirin sangat terkesima dengan penampilan para wisudawan, bahkan peneliti melihat tidak jarang yang meneteskan air mata haru dan histeris menyebut asma Allah.31 Keterlibatan mayarakat khusunya para pemerhati kitab kuning dalam ujian terbuka ini, menambah citra positif keberadaan lembaga Maktab Nubdzatul Bayan ini, sehingga secara tidak langsung akan menambah militansi alumni dan dukungan masyarakat luas.32 3.3. Faktor keberhasilan reformulasi pola pembelajaran kitab kuning di Maktab Nubdzatul Bayan Keberhasilan pelaksanaan program akselerasi sebagai reformulasi pola pembelajaran kitab kuning ini dipengaruhi bebrapa faktor, di antaranya: a. Kesamaan tekad antara pengasuh, pengurus, pembimbing, santri dan wali santri. Dengan semangat yang sama, maka seluruh program akan disukung oleh semuanya, tanpa harus saling melempar tanggung jawab.33 Untuk memotivasi kesamaan tekad tersebut, menurut ust. Syafiuddin pengurus senantiasa diberi motivasi langsung oleh pengasuh dalam forum evaluasi yang dilaksanakan setiap akhir bulan. Forum tersebut selain mengevaluasi perjalanan program, juga dijadikan media penyampaian kendala-kendala yang dihadapi pengurus untuk dicarikan solusinya secara bersama. Pada acara tersebut seluruh komponen pengurus hadir dan mendapat kesempatan untuk menyampaikan permasalahan secara langsung pada penanggung jawab. Pola kepemimpinan yang lebih menkankan ketiaan dan tanggung jawab pada tugas serta keikhlasan santri untuk mengikuti arahan kiai dan ustad 30 Mohammad Thoha, 56. 31 Observasi pada wisuda Akbar tanggal12 Oktober 2014. 32 Mohammad Thoha and Ika Nurul Jannnah, ―Public Relation Dan Pembangunan Citra Agamis (Studi Implementasi Manajemen Hubungan Masyarakat Sebagai Upaya Membangun Citra Religius Di SMPN 1 Pamekasan),‖ Re-JIEM 1, no. 2 (2018): 30. 33 KH. Moh. Hasan, Wawancara 24 Nopember 2014. menunjukkan loyalitas seluruh satakeholders pesantren. Rasa kekerabatan ini akan terus dikenang sepanjang masa oleh para alumni.34 b. Rasio perbandingan astad pembimbing dengan santri yang ideal, yakni 1: 7-10. Dengan pola bimbingan langsung dalam kelompok kecil, seluruh program yang direncanakan lebih mudah dilaksanakan. Demikian pula pengawasan akan lebih mudah dilakukan. Problem yang terdapat mudah diidentifikasi dan segera dicarikan solusinya. Demikian pula penyebaran instruksional pembelajaran dari pembimbing, serta pemerataan peran dan tanggung jawab santri akan lebih mudah dicapai.35Kondisi ini mendukung pengawasan yang intens bagi perkembanagn belajar santri, manffat lain dari kelompok belajar kecil ini adalah terhindarnya santri dari prilaku nakal bahka vandalis.36 c. Fasilitas belajar dan asrama yang standar. Dalam melaksanakan seluruh kegiatannya, santri di Maktab Nubdzatul Bayan ditempatkan dalam satu komplek yang terpisah dari pondok ―besar‖. Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata. Dalam kompleks tersebut terdapat asrama tidur, ruang belajar, taman bermain, lorong-lorong yang bisa digunakan untuk berdiskusi, sarana bermain, sarana mandi, lapangan olahraga, ruang khusus makan, ruang khusus menerima tamu, kantin, kantor, pos keamanan, dan sebagainya. Kompleks tersebut dipagar dan pintu gerbang senantiasa dijaga oleh pengurus bidang keamanan, sehingga peserta didik tidak bisa keluar kecuali sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Dalam kompleks tersebut seluruh kebutuhan peserta didik dan pembimbing sudah tersedia. Ketersediaan fasilitas ini ikut andil dalam menekan hasrat santri untuk melakukan pelanggaran disiplin, seperti kabur dari pondok, bolos sekolang dan sebagainya.37 d. Lingkungan belajar yang kondusif. Dikarenakan seluruh fasilitas sarana dan prasarana berada dalam satu kompleks khusus, maka lingkungan belajar tercipta secara kondusif. Pembelajaran tidak selalu dilaksanakan di dalam ruangan, akan tetapi dimanapun bisa dilaksanakan sesuai kemauan peserta didik. Demikian pula santri bisa menentukan model dan pendekatan yang akan dijalankan. Iklim kompetitif senantiasa tercipta antar kelompok belajar, bahkan antar peserta didik, mengingat usia mereka yang relatif sama. Maktab Nubdzatul Bayan santri berasal dari berbagai daerah, baik Madura, Jawa, luar pulau bahkan luar negeri, sehingga memberikan kesempatan bagi santri untuk mempunyai banya teman. Ini dikarenakan pesantren tidak memberlakukan system zonasi dalam penerimaan santri baru.38 e. Dukungan pengasuh yang sangat besar. Gambaran dari dukungan pengasuh diantaranya adalah penambahan lahan dan bangunan sehingga seluruh santri dan pengurus Maktab Nubdzatul Bayan yang berkisar 900 orang pada generasi awal (termasuk, pengelola, pembimbing, dan santri) ditempatkan dalam satu kompleks khusus yang 34 Mohammad Thoha, ―Orientasi Santri dalam Menempuh Pendidikan Pesantren di Pamekasan,‖ 35. 35 Observasi tangga18 Nopember 2014. 36 Mohammad Thoha, ―Upaya Menekan Perilaku Vandalisme Siswa di Lembaga Pendidikan Islam (Studi Kasus Di MTs Negeri Kadur Pamekasan),‖ Nuansa 12, no. 2 (2015): 34. 37 Thoha, 392. 38 Thoha and Ghazali, ―Dampak Penerapan Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru,‖ 149. kemudian dikenal dengan ―pondok kecil‖. Demikian pula dukungan pengasuh pusat ditunjukkan dengan kehadiran beliau di setiap pelaksanaan wisuda Maktab Nubdzatul Bayan (kecuali beliau sedang sakit), di mana hal ini tidak pernah atau jarang beliau lakukan untuk wisuda di lembaga lainnya di pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata. 4. Kesimpulan Pesantren dan kitab kuning akan terus menjadi ikon pendidikan keagamaan Islam di nusantara. Pembaharuhan sebagai entitas penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat mutlak dibutuhkan. Namun demikian konsistensi terhadap mutu kajian kitab kuning juga harus dipertahankan. Kajian ini dilakukan dengan pendekatan manajemen pembelajaran dan kepemimpinan. Oleh karena itu sangat dimungkinkan untuk dilakukan kajian ulang dengan pendekatan yang berbeda, untuk menghasilkan hasil dan rekomendasi yang berbeda pula. Semoga khazanah keilmuan pesantren terus berkembang sebagaimana harapan masyarakat yang juga terus berkembang. Referensi Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 2003. Falaakh, M. Fajrul. ―Pesantren Dan Proses Sosial-Politik Demokratis.‖ In Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, edited by Marzuki Wahid. Bandung: Pustaka Hidayah, 1990. Fuady, Ahmad Syauqi. ―Pembaharuan Sistem Pendidikan di Pesantren.‖ Jurnal Al-Insyiroh : Jurnal Studi Keislaman 6, no. 1 (2021). Hanani, Nurul. ―Manajemen Pengembangan Pembelajaran Kitab Kuning.‖ Realita 15, no. 2 (2017). Hidayatullah, Syarif. ―Rekonstruksi Pemikiran Islam: Alternatif Wacana Baru.‖ In Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan Dan Transformasi Pesantren, edited by Marzuki Wahid. Bandung: Pustaka Hidayah, 1990. Hing, Lee Kim. Education and Politic In Indonesia 1945-1965. University of Malaya Press, n.d. Mochtar, Maksum. ―Transformasi Pendidikan Islam.‖ In Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, edited by Marzuki Wahid. Bandung: Pustaka Hidayah, 1990. Jarvis, Matt. Theoritical Approaches In Psychologhy. London: Routledge, 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007. Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan (2007). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010. Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. (2010). Rofiatun and Mohammad Thoha. ―Manajemen Pembinaan Kedisiplinan Santri Dalam Mengikuti Kegiatan Keagamaan Di Pondok Pesantren Nurus Shibyan Ambat Tlanakan Pamekasan.‖ Re-JIEM 2, no. 2 (2019). Samiun, Yustinus. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Sarkawi. ―Sistem Pembelajaran Pondok Cilik Maktab Nubdzatul Bayan Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan.‖ Tadris Jurnal Pendidikan Islam 7, no. 2 (2012). Thoha, Mohammad. ―Eksistensi Kitab Kuning Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (Studi Analisis Tentang Penggunaan Kitab Kuning Sebagai Referensi Kajian Keislaman Di STAIN Pamekasan Dan STAI Al-Khairat Pamekasan.‖ Nuansa 16, no. 1 (2019). ———. ―Orientasi Santri dalam Menempuh Pendidikan Pesantren di Pamekasan.‖ Nuansa 10, no. 1 (2013). ———. ―Pembelajaran Bahasa Arab dengan Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah.‖ Okara 6, no. 1 (2012). ———. ―Peran Pesantren Sebagai Agen Sumber Daya Manusia Profesional Berkualitas.‖ ’Anil Islam 5, no. 1 (2012). ———. ―Upaya Menekan Perilaku Vandalisme Siswa di Lembaga Pendidikan Islam (Studi Kasus Di MTs Negeri Kadur Pamekasan).‖ Nuansa 12, no. 2 (2015). Thoha, Mohammad and Ika Nurul Jannnah. ―Public Relation Dan Pembangunan Citra Agamis (Studi Implementasi Manajemen Hubungan Masyarakat Sebagai Upaya Membangun Citra Religius Di SMPN 1 Pamekasan).‖ Re-JIEM 1, no. 2 (2018). Thoha, Mohammad dan H.A Ghazali. ―Dampak Penerapan Sistem Zonasi Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru.‖ Tadris Jurnal Pendidikan Islam 15, no. 1 (2020). Wahid, Abdurrahman. ―Pondok Pesantren Masa Depan.‖ In Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, edited by Marzuki Wahid. Bandung: Pustaka Hidayah, 1990. Mohammad Thoha Reformulasi Model Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan Mohammad Thoha Reformulasi Model Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan Mohammad Thoha Reformulasi Model Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan Mohammad Thoha Reformulasi Model Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata PamekasanMohammad Thoha Reformulasi Model Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan Mohammad Thoha 453 454 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 455 456 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 457 458 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 459 460 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 461 462 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 463 464 Tadris: Jurnal Pendidikan Islam; Vol. 16, No. 2, 2021 DOI: 10.19105/tjpi.v16i2.5136