Turnitin Originality Report
- Processed on: 28-Feb-2023 13:37 WIB
- ID: 2025082944
- Word Count: 9332
- Submitted: 1
strategi peningkatan By Pak Thoha 9
- Internet Sources:
- 97%
- Publications:
- 19%
- Student Papers:
- 88%
97% match (Internet from 04-Feb-2021)
STRATEGI PENINGKATAN NILAI-NILAI KECERDASAN EMOSIONAL DALAM PENGELOLAAN (MANAJEMEN) SUMBER DAYA MANUSIA DI PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM Mohammad Thoha (Institut Agama Islam Negeri Madura/thohasumberjati@gmail.com) Abstrak: Kecerdasan emosional menyumbangkan 60% dari faktor keberhasilan seseorang. Ciri utama kecerdasan emosional pada setiap orang adalah manakala orang tersebut berhasil mengaktualisasikan potensi emosionalnya dalam kehidupan sehari- hari. Potensi emosional tersebut sebenarnya telah dibekalkan pada setiap individu mengiringi fitrah kelahirannya. Namun demikian, potensi tersebut akan menjadi tumbuh berkembang atau pudar dan layu sesuai dengan usaha orang tersebut dalam merawat dan meningkatkannya. Dengan pendekatan studi pustaka terhadap leterasi ilmu psikologi dan membandingkan dengan kajian yuridis terhadap regulasi tentang pengelolaan PTKIN, penelitian ini menghasilkan temuan cara meningkatkan kecerdasan emosional bagi pengelola PTKIN. Pada dasarnya setiap orang, termasuk dosen dan pimpinan PTKIN, dapat meningkatkan kecerdasan nilai emosionalnya, apabila ia mampu: pertama mengenali emosi dirinya sendiri, sekaligus juga harus mengenali emosi orang lain; kedua mengelola emosi dirinya dan sekaligus mampu mengelola emosi orang lain, dan ; ketiga ia mampu memotivasi dirinya sendiri sekaligus memotivasi orang lain. Kata Kunci: Kecerdasan Emosionl, Emosi, Motivasi, Manajemen Sumber Daya Manusia Abstract: Emotional Quotion contributes 60% to someone’s success. The main characteristic of the individual emotional quotion is when he is successful to implement his emotional potency in daily life. Emotional potency here actually has been given to people before the birth. But, this potency can be increasing or Mohammad Thoha decreasing as it is taken care of or developed. Based on the literature review of psychology literation and comparing to juridical analysis about regulation in managing the State Islamic University, this research comes into a finding of how to develop the emotional quotion for the State Islamic University managers. Every individual, including the lecturer and the leader of the State Islamic University can increase their emotional quotion’s value, when they can: first, recognize their own emotional states as well as others; second, manage their own emotion as well as others, and three, motivate themselves as well as others Keywords: Emotional Quotion, motivation, human resources management Pendahuluan Berbagai karakter dan latar belakang yang menyertai masing-masing sumber daya manusia tersebut menuntut pengelola pendidikan untuk memiliki keterampilan manajerial sumber daya manusia yang baik, demi mewujudkan tujuan bersama lembaga pendidikan tersebut. Dalam memberdayakan sumber daya tersebut dibutuhkan kepemimpinan sumber daya manusia atau staf (staffing). Kepemimpinan staf dimaksudkan untuk mendorong kinerja organisasi (pendidikan). Penempatan staf pada bidang yang sesuai dengan keahliannya menjadi bagian dari kepemimpinan staf. Selain itu Staffing juga meliputi pengerahan, (directing), kordinasi, dan penempatan.1 Menempatkan dan memilih seorang staf untuk suatu posisi, bukan hal yang mudah. Penempatan staf yang adil dan baik hendaknya memperhatikan beberapa pertimbangan, di antaranya:2 1) golongan minoritas; 2) kaum wanita; 3) karyawan yang hamil; 4) keamanan dari godaan seksual; 5) karyawan yang lanjut usia; 6) agama; 7) kebangsaan; 8) orang yang cacat; 9) organisasi sosial; 10) isi dan arah program; dan 11) kelompok yang kurang pendidikan. Selain itu, pengaturan sumber daya manusia (staf) sebuah lembaga pendidikan juga harus memperhatikan aspek kecerdasan yang dimiliki oleh staf tersebut. Memang tidak dipungkiri bahwa pendidikan telah mengalami 1 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 88. 2 Edwin B. Flippo, Manajemen Personalia. Vol. 1 terj. Moh. Mas'ud (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 71. 366 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam perkembangan yang signifikan dalam meningkatkan kecerdasan intelektual lulusan pendidikan sebagai sumber daya manusia yang siap bekerja. Namun di sisi lain, kecerdasan intelektual (kognitif) tersebut belum berbanding lurus dengan kecerdasan emosional dan spiritual mereka.3Kecerdasan intelektual yang dimiliki lulusan pendidikan tidak mampu menjadikannya sebagai insan yang jujur, memiliki didikasi, mampu mengendalikan diri, pemurah, peka terhadap lingkungan sosial, dan sebagainya. Pada sisi sebaliknya kecerdasan intelektual mereka justru mengantarkan mereka pada sikap individualis, arogan, angkuh, elitis, dan anti sosial.4 Dalam konteks kemampuan untuk bekerja sama dalam kelompok (organisasi) kecerdasan yang paling dituntut adalah kecerdasan emosional. Daneil Goleman sebagai ahli psikologi yang mempopulerkan kecerdasan emosional mengatakan bahwa kecerdasan intelektual hanya berperan 20% dalam mengantarkan keberhasilan sesorang, sementara kecerdasan emosional memberikan kontribusi sampai 60%.5 Kecerdasan kognitif (intelektual) sumber daya manusia yang tidak berkembang sebanding dengan kecerdasan emosional dan spiritual, dikarenakan sistem pendidikan saat ini hanya mengedepankan pola penajaman ranah kognitif belaka. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari pola pengembangan kurikulum pendidikan yang hanya mengacu pada peningkatan kompetensi akademis belaka, tanpa menaruh perhatian yang lebih besar lagi pada pengamalan nilai-nilai etika dan agama dalam komunitas lingkungan sekolah.6 Ketidakseimbangan pencapaian kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional dan spiritual tersebut harus disadari bersama oleh praktisi pendidikan, baik pemerintah, masyarakat, guru, komite sekolah, peserta didik dan lainnya. Dengan demikian upaya memperbaikinya juga haris dilakukan secara serentak dan holistik dalam seluruh aspek pendidikan, baik kurikulum, tenaga pendidik, lingkungan pendidikan, sistem evaluasi, pola manajemen, dan seterusnya.7 3 Ali Mudlofir, “Pendidikan Karakter Melalui Penanaman Etikoa Berkomunikasi Dalam Al- Qur’an", dalam Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol.5 No. 2 (Maret 2011), hlm. 167. 4 Muhammad Yusuf, ´Pendidikan Karakter Berbasis Qur’ani dan Kearifan Lokal” dalam Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, Vol. 22, No. 1 (Juni 2014), hlm.52. 5 Nana Saodih, Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 97. 6 Siswanto, “Membudayakan Nilai-Nilai Agama dalam Komunitas Sekolah” dalam Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, Vol. 22, No. 1 (Juni 2014), hlm. 66. 7 Moh. Wardi, “Penerapan Nilai Pendidikan Agama Islam dalam Perubahan Sosial Remaja”, dalam Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, Vol 7, No. 1 (Juni 2012), hlm. 31. Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 367 Mohammad Thoha Sesuatu yang menjadi pilot project perbaikan sitem pendidikan tersebut adalah perbaikan sumber daya manusianya, yang dalam hal ini adalah tenaga pendidik dan kependidikan. Perbaikan dalam manajemen sumber daya pendidikan akan berimplikasi pada perbaikan sisi manajemen yang lain.8Sumber daya manusia dalam lembaga pendidikan terdiri atas pendidik dan tenaga kependidikan. Tenaga pendidik merupakan pendidik yang bertugas menyampaikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan pada peserta didik. Sedangkan tenaga kependidikan meliputi pimpinan lembaga pendidikan, pengawas pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, dan tenaga kebersihan.9 Untuk menyelenggarakan pendidikan yang efektif, termasuk di pendidikan tinggi, pemerintah telah menetapkan 8 standar pendidikan10. Standar tersebut meliputi: 1) standar kompetensi lulusan; 2) standar isi; 3) standar proses; 4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; 5) standar sarana dan prasarana; 6) standar pengelolaan; 7) standar pembiayaan pendidikan; dan 8) standar penilaian pendidikan. Khusus pendidikan tinggi pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan menetapkan aturan tersendiri dengan menerbitkan Permendikbud no 49 tahun 2014 tentang Sistem Nasional Pendidikan Tinggi. Pengelolaan sumber daya manusia dalam lembaga pendidikan mengacu pada standar pendidik dan tenaga kependidikan. Pengaturan tenaga pendidik (dosen) di pendidikan tinggi, selain memperhatikan aspek kecerdasan emosional mereka, juga harus memperhatikan rasio perbandingan antara jumlah dosen dan mahasiswa. 1 program studi, setidaknya harus memiliki 6 dosen tetap, dengan nisbah antara dosen dan mahasiswa 1: 20 untuk Prosi IPA dan 1: 30 untuk prodi IPS,11meskipun aturan ini dilonggarkan dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Dirjen DIKTI no 2920/DT/2007 yang memberikan rasio perbandingan dosen dan mahasiswa 1:25 baik prodi IPA maupun IPS.12Nisbah perbandingan tersebut misalnya, 1 prodi IPS mempunyai mahasiswa 300 orang, maka 8 Jamil Suprihatiningrum, Guru Profesional (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 170-171. 9 Tenaga pendidik dan kependidikan diatur dalam dalam: Permendiknas no 12 tahun 2007, Permendiknas no 13 tahun 2007, dan Permendiknas no 16 tahun 2007, Permendiknas no 24, 25, 26, 27 tahun 2008 serta Permendiknas no 40, 41, 42, 43, 44, dan 45 tahun 2010. 10 Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 sebagaimana dirubah dengan peranturan Pemerintah No 32 tahun 2013 dan diubah lagi dengan PP no 13 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan. 11SK Kemendikbud no 234/U/2000 dan diperjelas dengan SK Dirjen DIKTI no 108/DIKTI/Kep/2001. 12 Selengkapnya lihat Surat Edaran (SE) Dirjen DIKTI no 2920/DT/2007. 368 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam nisbahnya adalah 300:30 = 10. Artinya prodi tersebut harus memiliki dosen tetap sesuai kualifikasi prodinya sejumlah 10 dosen. Dosen tetap yang dihitung secara sah dalam nisbah perbandingan tersebut, adalah dosen yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi sebagai pendidik di satuan pendidikan tinggi, misalnya kualifikasi keilmuan dan keahlian, kualifikasi ijazah dan sertifikasi yang dimiliki, serta sejumlah kualifikasi lain seperti yang diamanatkan dalam Permendikbud no 49 tahun 2014.13 Demikian pula ketersediann dosen yang memenuhi nisbah sesuai perundang-undangan akan menjadi pertimbangan dalam penentuan status akreditasi suatu program studi.14 Dosen disebut dengan pendidik profesional dan ilmuan, dengan tugas utamanya mentransfomasikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakt.15 Oleh karena itu, maka pengangkatan, jenjang jabatan akademik, sertifikasi dan pembinaan karirnya diatur sedemikian rupa,16meskipun, pemerintah memberikan wewenang kepada satuan pendidikan tinggi untuk mengatur pengadaan dosen tidak tetap, jenjang akademik dan pembinaannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.17 Pengadaan dosen tidak saja mementingkan kemampuannya dalam penguasaan materi (kompetensi profesional), lebih dari itu hal yang paling dibutuhkan adalah kemampuannya untuk bisa mengembangkan diri, bekerja dalam tim, serta mampu berinovasi dan memotivasi orang lain.18 Kemampuan ini kemudian dikenal dengan kecerdasan emosional. Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dengan kualifikasi tenaga pendidik dosen yang baik, serta semakin banyaknya variasi tawaran program studi (prodi) baik di tingkat diploma, sekolah tinggi, institut, maupun universitas dengan jenjang pendidikan diploma, strata satu (S1), strata dua (S2) dan strata tiag (S3), memancing minat calon mahasiswa baru untuk terus melanjutkan studinya di jenjang pendidikan tinggi tersebut. Tingkat kesadara masyarakt terhadaplebutuhan pendidikn tingi juga menambah semakin meningkatnya calon peserta didik (mahasiswa) pada jenjang pendidikan ini. 13 Kualifikasi dosen t diatur dalam UU no 14 tahun 2005 pasal 45, 46 dan dijelaskan melalui pasal 25, 26, 27 dan 28 Permendikbud no 49 tahun 2014. 14 Buku 3A Borang Akreditasi Sarjana, hlm. II (4.3: Dosen Tetap). 15 Pasal 45, 46, dan 47 UU No 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen. 16 Pasal 1 (2) UU No 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen 17 Pasal 48 (4) UU No 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen 18 Sjahrazad Masdar dan Jusuf Sulika, Manajemen Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetens, hlm. 297. Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 369 Mohammad Thoha Di sisin lain, tenaga pendidik (dosen) sangat terbatas, sehubungan dengan faktor usia pensiun, dan pembatasan (moratorium) pengangkatan dosen baru. Hal ini tentu saja membuat kinerja dosen kurang maksimal. Di beberapa perguruan tinggi, seorang dosen harus mengajar dengan jumlah beban SKS mencapai 24 sampai 28, di mana regulasai hanya memberikan beban kerja dosen 37,5 jam perminggu yang disetarakan dengan 12 SKS mengajar dan membimbing mahasiswa.19 Untuk mengatasi kekurangan dosen tersebut, pemerintah memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk melakukan rekrutmen dosen tidak tetap.20pada bagian ini, permasalahan yang muncul adalah standarisasi pola rekrutmen serta model pembinaan mereka (dosen tidak tetap). Mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi, baik dalam negeri maupun luar negeri. Demikian pula motivasi, pola pengemabangan diri, penguasaan diri serta meningkatkan kecerdasan sosial mereka menjadi sesuatu yang harus senantiasa diperhatikan. Berangkat dari konteks tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk menelaah secara konseptual tentang pola yang bisa dilakukan PTKI dalam meningkatkan nilai-nilai kecerdasan emosional dalam pengelolaan sumber daya manusia (dosen)nya. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini akan mendiskripsikan konsep peningkatan kecerdasan emosional dalam mengimplementasikan tahapan manajemen sumber daya manusia di PTKIN. Data yang diperoleh melalui kajian regulasi PTKIN akan dianalisa dengan langkah-langkah manjerial sumber daya manusia dengan menyertakan internalisasi nilai-nilai kecerdasan emosional dalam tahapan-tahapannya. Kajian Teori Secara yuridis, pendidikan tinggi keagamaam Islam memiliki pengertian, hak dan kedudukan yang sama dengan pendidikan tinggi umum. Demikian pula regulasi yang mengaturnya sama-sama mengacu pada perundang-undangan tentang pendidikan tinggi dalam sistem pendidikan nasional. Sedangkan manajemen pendidikan tinggi memiliki pengertian yang sama dengan pengelolaan perguruan tinggi, yaitu pelaksanaan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tinggi melalui pendirian perguruan tinggi oleh pemerintah dan/atau Badan Penyelenggara untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.21 19 Permendikbud no 49 tahun 2014. 20 Pasal 48 (4) UU No 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen. 21 Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 4 tahun 2014 tentag Pengelolaan Pendidikan Tinggi. 370 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Demikian pula regulasi pendidikan mengatur secara bersamaan antara perguruan tinggi negeri dan swasta. Yang membedakan dari keduanya adalah penyelenggaranya. Di mana perguruan tinggi negeri (PTN) didirikan dan dikelola oleh pemeritah, sementara perguruan tinggi swasta didirikan dan dikelola oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 4 tahun 2014 tentag Pengelolaan Pendidikan Tinggi: Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat PTN adalah perguruan tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah.22 Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat PTS adadalah perguruan tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.23 Penyelenggaraan perguruan tinggi bersifat otonomi, dan menganut sistem kebebasan mimbar akademiki. Hal ini sesuai bunyi Undang-undang RI no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasioanl pasal 24: (1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. (2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.24 Pengaturan Pengelolaan Perguruan Tinggi meliputi: a) otonomi Perguruan Tinggi; b) pola Pengelolaan Perguruan Tinggi; c) tata kelola Perguruan Tinggi; dan d) akuntabilitas publik.25 Otonomi perguruan tinggi, meliputi semua aspek, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya manusia (ketenagaan). Hal ini sesuia dengan bunyi Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 4 tahun 2014 tentag Pengelolaan Pendidikan Tinggi: “Otonomi di bidang nonakademik yang meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:1. organisasi; 2. keuangan; 3. kemahasiswaan; 4. ketenagaan; dan 5. sarana prasarana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.26 22 Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 4 tahun 2014 tentag Pengelolaan Pendidikan Tinggi. 23 Pasal 1 ayat (6) Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 4 tahun 2014 tentag Pengelolaan Pendidikan Tinggi. 24 Pasal 24 ayat (1,2) Undang-undang RI no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasioanl. 25 Pasal 21 Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 4 tahun 2014 tentag Pengelolaan Pendidikan Tinggi 26 Pasal 22 ayat (3) huf (b) Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 4 tahun 2014 tentag Pengelolaan Pendidikan Tinggi Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 371 Mohammad Thoha Dalam hal otonomi ketenagaan, peraturan pemerintah tersebut menyebutkan......”penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan ketenagaan terdiri atas: a) Penugasan dan pembinaan sumber daya manusia, dan b) penyusunan target kerja dan jenjang karir sumber daya manusia.27 Sedangkan otonomi ketenagaan bagi perguruan tinggi negeri dengan status Badan Hukum, diberikan tambahan otonomi yang lebih luas, sesuai bunyi peraturan pemerintah......”penetapan norma, kebijakan operasional dan pelaksanaan ketenagaan terdiri atas: a) persyaratan dan prosedur penerimaan sumber daya manusia; b) penugasan, pembinaan, dan pengembangan sumber daya manusia; c) penyusunan target kerja dan jenjang karir sumber daya manusia; dan d) pemberhentian sumber daya manusia.28 Bagian terpenting dari sumber daya manusia pendidikan tinggi adalah dosen. Dosen sebagai pendidik pada pendidikan tinggi dituntut memiliki kualifikasi akaddemik dan kompetensi, sebagaimana diamanatkan dala peraturan pemerintah no 19 tahun 2005 pasal 28: “(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.29 Kualifikasi yang dimaksud dijelaskan dalam pasal 31 dari PP no 19 tahun 2005 tersebut, sebagaimana berbunyi: (1) Pendidik pada pendidikan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan minimum: a. lulusan diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) untuk program diploma; b. lulusan program magister (S2) untuk program sarjana (S1); dan c. lulusan program doktor (S3) untuk program magister (S2) dan program doktor (S3). (2) Selain kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) butir a, pendidik pada program vokasi harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. (3) Selain kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) butir b, pendidik pada program profesi harus memiliki sertifikat kompetensi setelah sarjana sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang 27 Pasal 23 ayat (4) huf (a, b) Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 4 tahun 2014 tentag Pengelolaan Pendidikan Tinggi 28 Pasal 25 ayat (4) Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 4 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pendidikan Tinggi. 29 Pasal 28 Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 sebagaimana dirubah dengan peranturan Pemerintah No 32 tahun 2013 dan diubah lagi dengan PP no 13 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan. 372 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam diajarkan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.30 Dalam regulasi lain, untuk melaksanakan tugasnya, Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sesuai amanat Undang-undang RI no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 31 Dengan menggunakan standart tersebut diatas maka jumlah mahasiswa yang dapat ditampung diperguruan tinggi dapat ditentukan. Dalam waktu dekat Ditjen DIKTI akan melakukan evaluasi apakah setiap perguruan tinggi telah memenuhi standart layanan tersebut diatas dan apabila terjadi ketidak sesuaian akan ditindaklanjuti dengan pengurangan jumlah mahasiswa atau penambahan fasilitas. Bagi perguruan tinggi yang telah memenuhi standart layanan tersebut diatas dan berencana menambah jumlah mahasiswa, maka harus memenuhi syarat tambahan sebagai berikut: 1. Publikasi Internasional minimal 1 judul/tahun/perguruan tinggi. 2. Program penelitian minimal 62 judul/tahun/perguruan tinggi. 3. Program pengabdian masyarakat minimal 17 judul/tahun/perguruan tinggi. 4. Program Pengembangan Kreatifitas Mahasiswa minimal 66 judul/tahun/perguruan tinggi 5. Program perolehan paten : Teknologi Tepat Guna; pengembangan bahan ajar minimal 2 judul /tahun/perguruan tinggi. 6. Indeks Prestasi Komulatif rata – rata lulusan > 3.00 7. Produktifitas pendidikan > 20% 8. Lama Studi rata – rata < % 5 tahun 9. Peringkat Akreditasi > B 10.Prestasi Perolehan hibah kompetisi > 1 11.Jumlah program Pasca Sarjana > 10 Apabila perguruan tinggi dapat memenuhi syarat tambahan tersebut diatas, maka jumlah mahasiswa dapat ditambah antara 10 – 20 %.32 30 Pasal 31 Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 sebagaimana dirubah dengan peranturan Pemerintah No 32 tahun 2013 dan diubah lagi dengan PP no 13 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan. 31 Pasal 45 Undang-undang RI no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 32 Surat Edaran (SE) Dirjen DIKTI no 2920/DT/2007 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 373 Mohammad Thoha Nisbah perbandiangan dosen dan mahasiswa tersebut, merupakan perubahan dari SK Dirjen DIKTI no 108/DIKTI/Kep/2001, dimana pada SK tersebut rasio dosen dan mahasiswa adalah 1: 30 untuk kelompok bidang kajian sosial, dan 1:20 untuk bidang kajian IPA. Cuplikan dari isi SK Dirjen DIKTI tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 10: Untuk setiap program studi pada Program Diploma dan Program S1 jumlah calon mahasiswa sekurang-kurangnya 30 orang dan sebanyak-banyaknya disesuaikan dengan nisbah dosen tetap dengan mahasiswa, untuk kelompok bidang ilmu pengetahuan sosial 1 : 30 dan untuk kelompok bidang ilmu pengetahuan alam 1 : 20.33 Sedangkan rasio perbandingan jumlah dosen tetap dengan dosen tidak tetap di sebuah satuan pendidikan tinggi setidak-tidanya 75% (dosen tetap) ; 25% (dosen tidak tetap), sebagai mana termaktub dalam pasal 28 Peraturan Menteri pendidikan dan Kebudayaan RI no 49 tahun 2014 tentang Standar Nasioanal Pendidikan Tinggi, yaitu: (3) Jumlah dosen tetap pada perguruan tinggi paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah seluruh dosen (4) Jumlah dosen tetap yang ditugaskan secara penuh waktu untuk menjalankan proses pembelajaran pada setiap program studi paling sedikit 6 (enam) orang.34 Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional Di Dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Sumber daya manusia pendidikan tinggi terdiri atas pendidik (dosen) dan tenaga kependidikan. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan kajiannya pada sumber daya manusi di bidng pendidik atau dosen. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.35 Tridarma perguruan tinggi yang meliputi: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masayarakat menjadi tugas utama dosen sebagai ilmuan. Untuk melaksanakan tiga tugas utama tersebut seorang dosen dituntut memiliki kecerdasan emosional yang baik. 33 Pasal 10 dari SK Kemendikbud no 234/U/2000 dan diperjelas dengan SK Dirjen DIKTI no 108/DIKTI/Kep/2001. 34 Pasal 28 ayat (3-4) Peraturan Menteri pendidikan dan Kebudayaan RI no 49 tahun 2014 tentang Standar Nasioanal Pendidikan Tinggi. 35 Pasal 1 ayat (2) Undang-undang RI no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 374 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Kemampuan memotivasi diri sendiri Kemampuan memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan internal pada diri seseorang berupa kekuatan menjadi suatu energi yang mendorong seseorang untuk mampu menggerakkan potensi-potensi fisik dan psikologis atau mental dalam melakukan aktivitas tertentu sehingga mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan. Seperti diketahui bahwa di dalam diri setiap orang terkandung kekuatan berupa potensi yang tidak secara otomatis dapat didayagunakan oleh seseorang untuk mencapai sesuatu. Contoh, seorang dosen memiliki kemampuan menyelesaikan sejumlah tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan. Namun dalam kenyataanya dosen tersebut hanya mampu menyelesaikan separoh dari tugas yang diberikan, selebihnya tidak dikerjakan dengan alasan merasa lelah, jenuh atau ingin melakukan aktivitas lain. Pada sisi lain juga sering kita menyaksikan seorang dosen bekerja atau mengerjakan tugas- tugas rutin secara tekun selama berjam-jam tanpa adanya pengawasan atau perintah dari orang lain dan bahkan mereka tidak beranjak dari tempat duduknya dengan menunjukkan wajah yang gembira. Gambaran tersebut adalah sebagian dari contoh kemampuan seeorang memotivasi dirinya sehingga ia mampu menjadikan kekuatan dalam dirinya sebagai energi yang mampu mengoptimalisasi kekutan dirinya untuk mencapai keberhasilan dan sukses yang diinginkan. Walaupun kemampuan memotivasi diri menjadi sesuatu yang sangat penting sebagai wujud dari kemandirian seseorang, namun dalam proses perkembangannya, dosen masih memerlukan peran orang lain untuk memfasilitasi peningkatan motivasi mereka. Dalam berinteraksi dengan orang lain tersebut, seorang dosen dituntut berpijak pada asas proporsional, objektif dan memperlakukan sama antar seluruh mahasiswanya tampa membedakan suku bangsa, agama, ras, dan golongan. Hal ini sesuia dengan amanat undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen Pasal 60: “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, dosen berkewajiban: a. Melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; c. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; d. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; e. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 375 Mohammad Thoha serta nilai-nilai agama dan etika; dan f. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.”36 Ketahanan menghadapi frustasi Kemampuan menghadapi masalah akan mendorong dosen untuk memiliki daya tahan yang lebih tinggi bilamana suatu saat ia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang lebih kompleks dan rumit yang kemudian dapat menyebabkan dirinya menjadi frustasi. Apabila keadaan yang buruk terjadi, maka dosen diharapkan dapat mengendalikan diri, menata emosinya sehingga tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Untuk menghindarai kondisi kejiwaan yang buruk terjadi pada pada dosen, pemerintah sudah mengantisipasinya, dengan beberapa cara, diantaranya dengan memperhatikan peningkatan kesejahteraan dosen. Seorang dosen harus mendapatkan kelayakan hidup, kesejahteraan keluarga, jaminan kesehatan, pengembangan keilmuan, kebebasan mimbar akademik, hak mengembangkan diri, dan hak-hak lain yang meningktkan kesejahteraan dan kamaslahatannya. Hal ini sesuai amanat undang-undang no 14 tahun 2014 tentang guru dan dosen: 1) Pasal 51 (1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak: a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; d memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; e. memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan; f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan g. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan. 2) Pasal 52 (1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. (2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 36 Pasal 60 Undang-undang RI no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 376 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam 3) Pasal 57 (1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi dosen, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain. (2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan. Kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan menjadi ciri dari kecerdasan emosi. Kematangan berpikir dosen, tidak dapat sekedar ditunjukkan oleh kemampuan nalar, akan tetapi jusru lebih banyak ditunjukkan melalui isyarat-isyarat emosional. Ketika seorang dosen menghadapi kesuksesannya sering kali mereka mengaktualisasikan dengan sikap yang berlebih-lebihan dan tidak jarang lupa dengan lingkungannya. Dalam kehidupan bermasyarakat, dosen dipandang sebagai starata atas yang akan dijadikan contoh pola kehidupan dan pola komunikasinya. Lingkungan masyarakatnya memandang bahwa seorang dosen adalah potret ideal masyarakat dengan pendidikan dan etika yang tinggi. Dengan demikian kemampuan dosen memberikan contih perilaku bersahaja, ramah lingkungan dan familier akan menginspirasi lingkungannya untuk menjadi pribadi-pribadi yang santun, ramah, harmonis dan penuh kekeluargaan. Kemampuan menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a. Kemampuan menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, juga merupakan salah satu ciri dari kecerdasan emosional. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan mengatasi masalah. Seseorang yang telah mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya akan lebih arif dalam menghadapi persoalan-perseoalan yang lebih berat. Misalnya, dalam keadaan berduka yang sangat mendalam, kekecewaan yang berat, maka secara tidak sadar emosinya dapat mengalahkan nalar. Dan jika hal itu terjadi sangat mungkin seseorang melakukan tindakan-tindakan di luar kontrol nalarnya yang mungkin saja dapat merusak keselamatan dirinya. Hal ini dapat dicontohkan, ketika salah satu rekan terjatuh ke sungai yang dalam, maka rekan lainnya langsung menolong tanpa menggunakan alat bantu apapun, padahal ia tidak bisa berenang, dan tentu akan sangat membahayakan keselamatan dirinya. Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 377 Mohammad Thoha Seorang dosen tentu saja akan banyak menjumpai permasalahan- permasalah di sekitarnya, baik yang berkenaan langsung dengan dirinya, maupun tidak langsung. Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut sikap arif dan bijaksana, sehingga tidak menggannggu pelasanaan tugas utamanya. Dalam hal ini dosen dituntut untuk memiliki sifat yang sabar, lapang dada, objektif, dan rendah hati, sebagi wujud dari kualitas emosionalnya yang tinggi. Beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai penting bagi keberhasilan, yaitu:371). empati; 2) mengungkapkan dan memahami perasaan; 3) mampu mengendalikan amarah; 4) kemandirian; 5) kemampuan menyesuaikan diri; 6) disukai; 7) kemampuan memecahkan masalah antar pribadi; 8) ketekunan; 9) kesetiakawanan;10) keramahan. Kualitas emosional tersebut senantiasa harus terus ditingkatkan untuk mencapai kedewasaan dan kematangan sikap dan perilaku seseorang, termasuk dosen. Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pengelola pendidikan tinggi untuk meningkatkan kecerdasan emosional dosen antara lain dengan cara:381) mengenali emosi diri sendiri; 2) mengelola emosi diri sendiri; 3) memotivasi diri sendiri; 4) mengenali emosi orang lain; 5) mengelola emoasi orang lain; 6) Memotivasi orang lain. Sedangkan secara personal, setiap orang, termasuk dosen dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya melalui cara, di antaranya: 1. Mengembangkan kasih sayang afirmatif. Hubungan yang baik antara seseorang dengan orang tuanya bisa menumbuhkan rasa percaya diri. Efek positif tersebut akan bisa bertahan hingga jangka panjang. Karena citra diri seseorang hanya bisa dibangun dengan sikap saling terbuka dan sikap saling menyayangi antara dirinya dan orangtuanya. 2. Membiasakan diri untuk saling menghargai antar sesama dosen. Sikap sopan santun dan bertatakrama sangat penting dalam membentuk kecerdasan emosional seseorang. Tatakrama ini akan berkaitan erat dengan orang lain. Termasuk didalamya bagaimana bersikap kepada yang lebih tua dan bersikap kepada orang yang baru dikenal. Seperti senantiasa memberikan salam kepada orang yang dijumpai, mengucapka terimakasih, biasakan berjabat tangan pada setiap kesempatan, termasuk ketika berkenalan dengan orang baru. 3. Menumbuhkan rasa empati. Rasa empati tidak hanya berlaku pada teman yang dikenalinya saja, namun juga berempati terhadap orang lain yang belum 37 Ainurrahman, Belajar dan Pembelajaran (Bandung: Alfabeta. Bandung. 2008), hlm. 85. 38 Hamzah Uno, Orientasi Dalam Psikologi Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 72-77. 378 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam dikenalinya. Misalnya, biasakan diri untuk peduli dan bertanggung jawab, melatih diri untuk memberiakan infak atau sedekah kepada orang lain, mengajak pegawai lain untuk mengunjungi temannya yang sedang sakit. 4. Mengajarkan kejujuran dan berpikir realistis. Ketika melihat dosen lain berbohong maka segera perbaiki dan beri nasehat, jangan biarkan orang itu berbohong, karena kebiasaan ini akan bisa berlanjut hingga masa-masa yang akan datang. Berbohong adalah hal yang bisa mengikis rasa kepercayaan orang lain dan merenggangkan persahabatan. Kita bisa mengajarkan tentang kejujuran kepada orang lain dengan cara membacakan cerita dan kisah teladan tentang buah dan manfaat dari kejujuran. Kejujuran yang terbangun pada seseorang akan membuat orang itu berpikir realistis, karena ia tidak akan menutup-nutupi kekurangan, dan akan terlatih untuk menghadapi kenyataan dan tidak akan menutupinya dengan kebohongan. Pada dasarnya peningktan kecerdasan emosional dapat dilakukan dengan menyeimbangkan emosi diri sendiri dengan emosi orang lain. Keseimbangan tersebut dilakukan dalam tiga hal utama, yakni mengenali emosi, mengelola emosi dan memotivasi. Ketiga cara tersebut dapat diaplikasikan dalam seluruh tahapan manajemen sumber daya manusia pendididikan tinggi. Sebagaimana kajian teori pada paparan terdahulu, manajeme sumber daya manusia meliputi beberapa tahapan, diantaranya:39 1) analisis kebutuhan pegawai; 2) penyusunan formasi kebutuhan pegawai baru; 3) pelaksanaan rekrutmen pegawai baru; 4) induksi pegawai baru; 5) penempatan pegawai/staf; 6) pemberian wewenang dan tanggung jawab pada staf; 7) pelaksanaan supervisi terhada kinerja pegawai; 8) pembinaan kesejahteraan pegawai; 9) pembinaan karir pegawai; 10) pemutusan hubungan kerja; 11) pemberian pesangon. Dalam melaksanakan langkah-langkah manajerial tersebut, pengelola pendidikan tinggi memerlukan pertimbanagn kecerasan emosional agar senantiasa dihasilkan formulasi sumber daya manusia yang berkualitas, berdedikasi dan seseuai dengan harapan pendidikan tinggi yang dipimpinnya. Demikian pula seorang dosen dalam pelaksanaan tugasnya, ia dituntut untuk terus meningkatkan kecerdasan emosionalnya, agar bisa bersinergi dengan lingkungan kerjanya yang meliputi mahasiswa, sesama dosen, pegawai administratif, pimpinan, dan masyarakat luar secara umum. Strategi peningkatan kecerdasan emosional dalam serangkaian kegiatan manajemen sumber daya manusia di pendidikan tinggi dapat ditempuh melalui 39 Mohammad Thoha, Manajemen Pendidikan Islam (Surabaya: Radja, 2016), hlm. 88-59. Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 379 Mohammad Thoha beberapa cara berikut: 1) mengenali emosi diri sendiri sendiri dan sekaligus mengenali emosi orang lain; 2) mengelola emosi diri sendiri dan sekaigus mengelola emosi orang lain; 3) memotivasi diri sendiri dan sekaligus memotivasi orang lain Mengenali emosi diri sendiri sendiri dan sekaligus mengenali emosi orang lain Seorang pimpinan dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan orang lain, dituntut harus mengenali karakter diri dan orang lain. Pemahaman terhadap pola kepribadian orang lain akan membantu seorang pimpinan untuk memilih orang lain untuk diangkat dan ditempatkan pada suatu jabatan dengan tugas tertentu pula. Dalam pengelolaan sumber daya manusia di perguruan tinggi misalnya, seorang rektor, atau ketua dan pimpinan bidang sumber daya manusia lainnya, harus bisa mengenali emosi dan karakter calon dosen dan karyawan. Kesalahan mengangkat dosen yang diakibatkan kegagalan memahami emosi calon dosen akan berakibat pada buruknya kinerja dosen tersebut, dan pada gilirannya akan mengganggu efiktifitas manajemen perguruan tinggi itu sendiri. Pemahaman terhadap emosi orang lain dapat dimanfaatkan dalam beberapa kegiatan manajemen sumber daya manusia seperti hal berikut: a. Rekrutmen dosen baru. Keberhasilan rekrutmen ditentukan oleh kematangan perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dilakukan sebelumnya. Rekrutmen merupakan pintu masuk yang harus diselenggarakan secara serius dan hati-hati. Jangan sampai rekrutmen yang dilakukan berlangsung berdasarkan pertimbagan yang tidak objektif. Pada dasarnya rekrutmen didasrkan pada pertimbangan: 1) jenis pekerjaan; 2) sifat pekerjaan; 3) perkiraan beban kerja; 4) perkiraan kapasitas pegawai; 5) jenjang dan jumlah jabatan serta pangkat; 6) analisis jabatan; 7) prinsip pelaksanaan pekerjaan; 8) peralatan yang tersedia; dan 9) kemampuan keuangan lembaga. Langkah yang bisa dilakukan dalam rekrutmen tersebut diantaranya adalah: 1) wawancara pendahuluan; 2) pengisian formolir; 3) memeriksa refrensi tentang karakter, pekerjaan dan sekolah; 4) wawancara dengan diskusi untuk menjelaskan persoalan dan mengukur efektifitas pembicaraan; 5) persetujuan atasan langsung; 6) pemeriksaan kesehatan. Jika dikaitkan dengan kecerdasa emosional, seorang pimpinan pendidikan tinggi dalam menjalankan langkah-langkah rekrutmen dosen baru tersebut, senantiasa bertujuan untuk memahami karakter, pola pikir dan wawasan 380 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam calon dosen. Ini yang dimaksud dengan memahami emosi orang lain (calon dosen baru). Memang setiap orang yang memiliki kualifikasi sesuai standar yang ditentukan, memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi dosen atau pendidik di pendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan amanat undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen: Pasal 50: (1) Setiap orang yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi dosen. Namun demikian, kualifiaksi akademik yang dimiliki seseorang tersebut tidak otomatis mengantarkan dirinya untuk diangkat secara langsung sebagai dosen. Pimpinan perguruan tinggi diberi wewenang untuk menyelenggarakan seleksi dosen baru. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahu kualifikasi non akademik calon dosen, yang meliputi kepribadian, latar belakang sosial budaya, dan sebagainya. Hal ini didasarkan pada aturan yang tertuang pada ayat berikutnya (ke-2) dari undang-undang no 14 tahun 2005 tersebut, yaitu pasal 50 yang berbunyi: (2) Setiap orang, yang akan diangkat menjadi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengikuti proses seleksi. (3) Setiap orang dapat diangkat secara langsung menduduki jenjang jabatan akademik tertentu berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki. Jika dipahami lebih kanjut, kompetensi dalam bunyi ayat (3) tersebut, maka tentu saja akan mengacu pada 4 kompetensi utama pendidik secara umum yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.40 b. Induksi pegawai (dosen) baru. Induksi pegawai baru adalah kegiatan orientasi atau pengenalan, pelatihan di tempat kerja, pengembangan dan praktek pemecahan berbagai permasalahan dalam proses pekerjaan bagi pegawai baru pada satuan pendidikan. Tujuan dari induksi pegawai baru yaitu membimbing dan membantu pegawai baru agar dapat beradaptasi dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan iklim kerja dan budaya kerja lembaga. Dengan demikian program induksi bagi pegawai baru merupakan proses pengenalan kegiatan pembekalan dalam konteks satuan pendidikan tertentu, dan menjadi pembekalan keprofesionalan di tempat kerja selama satu tahun pertama. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya manusia di pendidikan tinggi, induksi diterapkan dengan program orientasi dan pengarahan serta 40 Pasal 28 ayat (3) Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 sebagaimana dirubah dengan peranturan Pemerintah No 32 tahun 2013 dan diubah lagi dengan PP no 13 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan. Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 381 Mohammad Thoha pendidikan dan pelatihan (diklat) prajabatan, baik yang diselenggarakan secara terpadu oleh balai diklat pemerintah, maupun secara internal di setiap kampus. Program ini penting dilakukan untuk memberikan kesempatan pada pegawai (dosen) baru untuk beradaptasi, beraktualisasi diri dan mengenal lingkungan kerjanya. Pemilihan metode induksi disesuaikan dengan krakter tugas yang akan diemban oleh masing-masing dosen baru. Demikian pula induksi ini tidak saja bermanfaat bagi calon dosen, akan tetapi jugan akan memberikan data kepribadian calon dosen tersebut pada atasannya. Mengelola emosi diri sendiri dan sekailgus mengelola emosi orang lain Mengelola emosi diri sendiri dan orang lain, dilakukan dengan tujuan: a) mendorong tumbuhnya rasa empati. Rasa empati tidak hanya berlaku pada teman yang dikenalinya saja, namun juga berempati terhadap orang lain yang belum dikenalinya. Empati bisa tumbuh dengan cara: membiasakan diri untuk peduli pada tugas dan tanggung jawab; melatih diri untuk memberikan infak atau sedekah kepada orang lain; mengajak pegawai lain untuk menjenguk temannya yang sedang sakit; b) membiasakan diri untuk saling menghargai antar sesama dosen. Sopan santun, tegur sapa, dan bertatakrama sangat penting dalam membentuk kecerdasan emosional seseorang. Hal ini akan berkaitan erat dengan orang lain, termasuk didalamya bagaimana bersikap kepada yang lebih tua (senior), dan bersikap kepada orang yang baru dikenal. Seperti senantiasa memberikan salam kepada orang yang dijumpai, mengucapka terimakasih, biasakan berjabat tangan pada setiap kesempatan, termasuk ketika berkenalan dengan orang baru. Dalam hal manajemen sumber daya manusia di pendidikan tinggi mengelola emosi diri sendiri dan orang lain dapat dilakukan dalam beberapa bagian, seperti: a. Penempatan pegawai (dosen) atau staf. Penempatan pegawai merupakan tindak lanjut dari seleksi. Perguruan tinggi yang baru merekrut dosen baru menempatkan calon dosen yang diterima pada jabatan yang disediakan. Penempatan tersebut berkaitan dengan kesesuaian seseorang antara latar belakang keahliannya dengan jabatan yang akan diembannya. Namun demikian penempatan dosen tidak sekedar menempatkan saja, melainkan harus mencocokkan dan membandingkan kualifikasi yang dimiliki pegawai dengan kebutuhan dan persyaratan dari suatu jabatan, sehingga pegawai tersebut betul-betul memenuhi harapan lembaga. Selain itu pengetahuan 382 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam tentang perilaku dan kondisi emosional calon dosen tersebut, menjadi pertimbangan utama dalam menempatkannya pada suatu jabatan. Demikian pula penempatan dosen baru dimaksudkan pada proses pengelompokan dosen dalam pembinaan profesionalitas, pembentukan asosiasi keahian, pembentuka kelompok kerja (pokja), pengelompokan dosen dalan unit program studi (prodi), pengelompokan pada pemberian tugas pembimbingan lapangan pada mahasiswa, pembimbing laboratorium, dan pengabdian kepada masyarakat, dan sebagainya. b. Pemberian wewenang dan tanggung Jawab pada Dosen. Pemberian wewenang dan tanggung jawab merupakan proses pembentukan lingkungan kerja yang baik. Dengan wewenang yang dimiliki, seseorang dapat memberikan kontribusi secara penuh melalui keterampilan terbaiknya. Setiap dosen diberikan wewenang untuk merencanakan, mengendalikan, dan membuat keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Secara konseptual, memberikan wewenang dan tanggung awab pada dosen bisa ditempuh dengan cara: 1) memilih dosen yang akan diberikan tanggung jawab pada bidang tertentu; 2) melihat kemampuan dari dosen yang akan diberikan tanggung jawab, dengan tujuan agar posisi yang diberikan kepada pegawai tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimiliki; 3) memberikan bimbingan dan arahan agar tujuan dari bidang tersebut bisa tercapai sesuai dengan yang diharapkan lembaga. Bimbingan tersebut berisi informasi megenai tanggung jawab yang diberikan lembaga dan arah serta tujuan dari tugas tersebut.41 Tugas utama dosen sesuai definisinya dalam undang-undang adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian, melakukan pengabdian masyarakat. UU no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 1 ayat (2) menyebutkan: Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tugas tersebut kemudian dijabarkan dalam pasal 60: Pasal 60. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, dosen berkewajiban: a. Melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi 41 Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pengembangan Mutu Sekolah/Madrasah (Malang: UIN Malang Press, 2008), 34. Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 383 Mohammad Thoha hasil pembelajaran; c. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; d. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; e. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan f. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Pemberian tugas dan wewenang dari pimpinan perguruan tinggi dimaksudkan untuk mengembangkan kehlian dan profesionalitas dosen itu sendiri. Di samping itu, semakin sering seorang dosen menjalankan tugas dengan baik, maka semakin terlatih pula tanggung jawab dan kedisiplinannya. Ini yang dimaksud dengan pengelolaan emosi. Memotivasi diri sendiri dan sekaligus memotivasi orang lain Kemampuan memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan internal pada diri seseorang berupa kekuatan atau energi yang mendorong seseorang untuk mampu menggerakkan potensi-potensi yang dimilkinya. Potensi tersebut berupa fisik dan psikologis atau mental untuk melakukan aktivitas tertentu sehingga mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan. Seperti diketahui bahwa di dalam diri setiap orang terkandung kekuatan berupa potensi yang tidak secara otomatis dapat didayagunakan oleh seseorang untuk mencapai sesuatu, sehingga memerlukan motivasi. Kemampuan memotivasi diri dan orang lain bisa ditempuh dengan cara mengajarkan kejujuran dan berpikir realistis. Ketika melihat dosen lain berbohong maka segera perbaiki dan beri nasehat, jangan biarkan orang itu berbohong, karena kebiasaan ini akan bisa berlanjut hingga masa-masa yang akan datang. Berbohong adalah hal yang bisa mengikis rasa kepercayaan dan merenggangkan persahabatan. Kejujuran yang terbangun pada seseorang akan membuat orang itu berpikir realistis, karena ia tidak akan menutup-nutupi kekurangan, dan akan terlatih untuk menghadapi kenyataan dan tidak akan menutupinya dengan kebohongan. Memotivasi diri dan orang lain dalam dunia pendidikan tinggi, juga bisa dilakukan dengan cara saling mengingatkan untu senantiasa bersyukur atas seluruh pencapaian yang telah Allah SWT anugerahkan pada para dosen. Dibandingkan sekian banyak orang yang menginginkan menjadi dosen dan sampai saat ini belum tercapai, maka kita wajib bersyukur karena telah mendapatkannya. Rasya syukur ini tidak saja karena dosen menduduki strata 384 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam sosial yang tinggi, akan tetapi karena ia juga berkesempatan untuk senantiasa menyebarkan ilmu pengetahun, dan ikut mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu dosen harus memiliki dedikasi yang tinggi serta senantiasa terus mengembangkan potensi dirinya untuk memberikan layanan pendidikan yang semakin baik. Rasa syukur senantiasa menjadi kewajiban diri dosen mengingat sedemikiaj banyak anugerah yang telah diberikan Allah SWT. Sebagai pekerja profesional, dosen di samping mendapat prestise yang tinggi, ia juga berhak mendapatkan penghasilan di atas rata-rata penghasilan minimum. Dengan ini masyarakat berlomba-lomba untuk menjadi dosen. Kesejehteraan dosen diatur sedemikian rupa dan senantiasa terus meningkat sesuai peningkatan kinerja dalam tugas dan jabatan yang diembannya. Regulasi pendidikan kita mengatur hal ini, diantaranya melalui Undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, yaitu: a. Pasal 51 (1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak: a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; d memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; e. memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan; f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan g. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan. b. Pasal 52 (1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. (2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan. c. Pasal 57 (1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi dosen, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain. (2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 385 Mohammad Thoha Dengan regulasi di atas, dosen mendapatkan jaminan kesejahteraan tidak saja pada dirinya sendiri, melainkan akses pendidikan, layanan kesehatan dan fasilitas lainnya juga diberikan pada putra-putinya. Sungguh merupakan nikmat yang harus betul-betul disyukuri. Selain bersyukur, dosen juga harus memotivasi diri dan orang lain dengan banyak bersabar. Memang dalam banyak hal dosen mengalami penambahan tugas dibandingkan tugas utama yang diamanatkan dalam regulasi kependidikan. Tugas tambahan tersebut, misalnya beban kerja yang lebih, seperti beban Satuan Kredit Semester (SKS) dalam melaksnakan pengajaran. Sebagaimana diatur dalam beberapa regulasi, beban kerja dosen adalah mengelola pembelajaran, mendidik dan membimbing kegiatan belajar mahasiswa setara dengan 12 SKS. beberapa regulasi tentang beban kerja dosen tersebut diantaranya dapat ditemukan dalam: a. Undang-undang RI no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, Pasal 27: (1) Penghitungan beban kerja dosen didasarkan antara lain pada: a. kegiatan pokok dosen mencakup: 1. perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian proses pembelajaran; 2. pelaksanaan evaluasi hasil pembelajaran; 3. pembimbingan dan pelatihan; 4. penelitian; dan 5. pengabdian kepada masyarakat; b. kegiatan dalam bentuk pelaksanaan tugas tambahan; dan c. kegiatan penunjang. (2) Beban kerja dosen sebagaimana dinyatakan pada ayat (1) paling sedikit 40 jam per minggu. (3) Beban kerja pada kegiatan pokok dosen sebagaimana dinyatakan pada ayat (1) huruf a paling sedikit setara dengan mengelola 12 sks beban belajar mahasiswa, bagi dosen yang tidak mendapatkan tugas tambahan antara lain berupa menjabat struktural. (4) Beban kerja pada kegiatan pokok dosen sebagaimana dinyatakan pada ayat (1) huruf a disesuaikan dengan besarnya beban tugas tambahan, bagi dosen yang mendapatkan tugas tambahan antara lain berupa menjabat struktural.42 b. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Pasal 72 (1) Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat (2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang- kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) satuan kredit semester dan sebanyak- banyaknya 16 (enam belas) satuan kredit semester. 42 Pasal 27 ayat (1-4,6) Peraturan Menteri pendidikan dan Kebudayaan RI no 49 tahun 2014 tentang Standar Nasioanal Pendidikan Tinggi. 386 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Beban stara 12 SKS seperti dalam regulasi tersebut, sudah meliputi seluruh tugas utama dosen (tri darma perguruan tinggi). Namun demikian pada kenyataannya dosen kadang melaksanakan aspek pengajaran saja sudh melebihi 12 SKS, dan tidak jarang yang melampaui 20 SKS. Beban itu masih ditambah dengan aspek lain seperti penelitian, dan pengabdian masyarakat. Kondisi seperti ini menuntut para dosen untuk senantiasa ikhlas dan sabar untuk terus melaksanakan amanat pengabdian pada bangsa. Kalau dicermati, bertambahnya beban kerja dosen melebihi standar yang ditetapkan regulasi yang ada, maka akan ditemukan beberap faktor penyebabnya. Diantaranya adalah rasio (nisbah) perbandingan jumlah dosen dan mahsiswa yang tidak seimbang seiring dengan bertambahnya minat dan kesadaran masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi, di satu sisi. Sementara di sisi lain pemerintah memberlakukan moratorium penerimaan dosen tetap (PNS). Dalam regulasi pendidikan tinggi, nisbah perbandiangan dosen dan mahasiswa adalah 1: 30 untuk kelompok bidang kajian sosial, dan 1:20 untuk bidang kajian IPA, sebagai mana disebutkan dalam SK Dirjen DIKTI no 108/DIKTI/Kep/2001 sebagai berikut: Pasal 10: Untuk setiap program studi pada Program Diploma dan Program S1 jumlah calon mahasiswa sekurang-kurangnya 30 orang dan sebanyak-banyaknya disesuaikan dengan nisbah dosen tetap dengan mahasiswa, untuk kelompok bidang ilmu pengetahuan sosial 1 : 30 dan untuk kelompok bidang ilmu pengetahuan alam 1 : 20.43 Rasio perbandingan jumlah dosen tetap dengan dosen tidak tetap di sebuah satuan pendidikan tinggi setidak-tidanya 75% (dosen tetap) ; 25% (dosen tidak tetap), sebagai mana termaktub dalam pasal 28 peraturan menteri di atas, yaitu: (3) Jumlah dosen tetap pada perguruan tinggi paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah seluruh dosen (4) Jumlah dosen tetap yang ditugaskan secara penuh waktu untuk menjalankan proses pembelajaran pada setiap program studi paling sedikit 6 (enam) orang.44 Di tengah keterbatasan jumlah dosen dan semakin meninktnya animo masyarakat terhadap pendidikan tinggi, menuntut para dosen untuk senantia sabar dan ikhlas dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula para pengelola pendidikan tinggi harus betul-betul seksama dalam mengatur sumber daya mansuia (dosen) di perguruan tinggi yang dipimpinnya. 43 Pasal 10 dari SK Kemendikbud no 234/U/2000 dan diperjelas dengan SK Dirjen DIKTI no 108/DIKTI/Kep/2001. 44 Pasal 28 ayat (3-4) Peraturan Menteri pendidikan dan Kebudayaan RI no 49 tahun 2014 tentang Standar Nasioanal Pendidikan Tinggi. Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 387 Mohammad Thoha Pada pelaksanaan manajemen sumber daya manusia di pendidikan tinggi, peningkatan kecerdasan emosional dengan cara memotivasi diri dan orang lain dapat diterapkan dalam beberapa hal berikut: a. Pelaksanaan supervisi terhadap kinerja pegawai. Supervisi pada awalnya diawali dengan adanya kebutuhan terhadap landasan pengajaran dengan cara membimbing dosen junior dalam memilih metode mengajar, dan mempersiapkannya untuk mampu melaksakan tugasnya dengan kreatifas yang tinggi dan otonom. b. Pembinaan kesejahteraan dosen. Secara teoritik kesejahteraan diartikan dengan material dan fasilitas, baik material maupun nonmaterial yang mengarah pada kepuasan kerja. Kesejahteraan yang bersifat materi berupa: a) uang gaji atau honorarium; b) uang pensiun; c) uang makan; d) uang transport; e) tunjangan hari raya ; f) bonus (reward); g) uang duka cita; h) pakaian dinas; i) uang pengobatan. Sementara kesejahteraan yang bersifat fasilitas yaitu: a) layanan kesehatan; b) kesempatan untuk cuti; c) pemberian izin ; d) penjemputan pegawai; e) penitipan bayi; f) bantuan hukum; g) konsultasi keuangan; h) asuransi; i) kredit rumah dan kendaraan.45 Yang perlu diperhatikan dalam hal ini, pemberian kesejahteraan harus dilakukan tepat waktu sesuai hak masing-masing dosen. Pencairan hak dosen yang tepat waktu, tepat peruntukan dan tepat penerimanya akan menimbulkan motivasi kerja bagi dosen tersebut. Sebaliknya pemberian kesejahteraan yang tidak memperhatikan ketapat waktu, ketepatan sasaran dan tidak merata akan menimbulkan kecemburuan sosial di antara dosen, dan pada gilirannya akan mengurangi motivasi bekerja. Dalam teori lain dikatakan kesejahteraan pegawai yang tidak diberikatan atau ditunda akan mengakibatkan kemalasan, disiplin pegawai menurun, kerusakan meningkat, bahkan mogok bekerja (turn over).46 Oleh karena itu, dalam hal ini pengelola pendidikan tinggi harus betul-betul memperhatiakan asas transpansi, keadilan, keseimbangan, objektifitas dan asas pemerataan. c. Pembinaan karir dosen. Perencanaan pengembangan dan pembinaan karir dosen bermanfaat tidak saja bagi individu dosen yang bersangkutan, melainkan juga pada perguruan tinggi itu sendiri. Pentingnya pengembangan dan pembinaan karir dosen dan kependidikan di sebuah akan mendapatkan beberapa manfaat seperti: 1) mutu dan semangat dosen akan tumbuh; 2) 45 Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig, Organisasi dan Manajemen edisi keempat. terj. Hasymi Ali (Jakarta:Bumi Aksara, 1995), 57. 46 Sp Hasibuan, Malayu Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 185-188 388 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam mutu pendidikan di perguruan tinggi dapat meningkat; 3) Pelaksanaan administrasi di perguruan tinggi dapat berjalan dengan lebih baik; 4) Pelaksanaan bibingan (guindance) dan konseling (counceling) akan lebih baik; 5) Hubungan antara dosen dan mahasiswa, dosen dan pimpinan, serta lembaga dan orang tua mahasiswa ataupun masyarakat dapat terpelihara dengan lebih baik.47 Pembinaan karir dosen diatur dalam Undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, diantaranya: Pasal 51 (1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak: a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; d memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; Pembinaan karir dosen dapat ditempuh dengan berbagai cara, misalnya pemberian kesempatan dalam mengajukan kenaikan pangkat dan jabatan akademik, pengurusan kenikan gaji berkala (KGB), dukungan untuk melanjutkan studi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri, mengikutkan dosen dalam forum ilmiah nasional dan internasional, memberikan kesempatan untuk berkolaborasi dengan dosen di perguruan tinggi lain dalam kegiatan akademis seperti penelitian, shortcours, dan sebagainya. d. Pemberian Pesangon. Pemberian pesangon bagi dosen yang telah pensiun di pergruan tinggi bagi dosen dan pegawai dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur oleh pemerintah sesuai perundang-undangan yang berlaku. Sementara bagi dosen dan karyawan non PNS (ASN) disesuaikan dengan kebijakan kampus yang bersangkutan. Namun demikian hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah perwujudan rasa terima kasih dari lembaga pendidikan tinggi kepada para dosen yang telah mengabdi sekian lama agar senantiasa tetap memiliki ikatan emosional. Dengan ikatan emosional yang kuat seorang pensiunan dosen akan senantiasa memberikan masukan dan pertimbangan terhadap pengembangan perguruan tinggi utu sendiri. 47 Jhon Adair, Membina Calon Pimpinan terj. Soedjono Trimo (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 88 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 389 Mohammad Thoha berkelompok. Penutup Tulisan ringkas ini merupakan ringkasan hasil penelitian yang dilakukan penulis dengan judul “ Strategi Meningkatkan Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan Sumber Daya Manusia di Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKIN). Data yang disampaikan merupakan hasil pembacaan peneliti terhadap teks rugulasi pendidikan tinggi, yang diaplikasikan dalam pengelolaan manajemen sumber daya manusianya. Analisa tersebut menggunakan pendekatan internalisasi nilai-nilai kecerdasan emosional yang terdapat dalam diri setiap sumber daya manusia.tentu saja penelitian ini banyak mengalami kekuarangan dan kelemahan, khususnya dalam keterbatasan eksplorasi data dan teknik analisanya. Demikian pula persepsi pembaca terhadap kandungan isi dari data yang diperoleh, dipastikan bervariasi, sesuai dengan karakter hasil penelitian pustaka. Oleh karena itu saran dan masukan dari pembaca sekalian, akan menjadi kontribusi yang berharga dalam perbaikan tulisan ini. Daftar Pustaka Ainurrahman. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Bandung. 2008. Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni. Teori Belajar Dan Pembelajaran. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007. Bodgan, RC. dan S.J. Taylor. Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to the Social Sciences. New York: John Wiley and Sons. Inc.1985. Fattah, Nanang. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996. Flippo, Edwin B. Manajemen Personalia. Vol. 1 terj. Moh. Mas'ud. Jakarta: Erlangga, 1996. Ginanjar, Ary. ESQ Power: Sumber Inner Jiurney Melalui Al-Ihsan Jakarta: ARGA, 2007. Gorton, Richard A. School Administration: Challenge and Opurtunity for Leandership. USA:Brown Company Publishers, 1976. Handoko, T. Hani. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE, 1999. Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju, 1996. Malayu, S.P. Hasibuan. Manajemen SDM. Jakarta: Bumi Aksara, 2000. 390 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 Strategi Peningkatan Nilai-Nilai Kecerdasan Emosional dalam Pengelolaan (Manajemen) Sumber Daya Manusia di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Masdar, Sjahrazad, dan Jusuf Sulika. Manajemen Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Untuk Pelayanan Publik. Surabaya: Airlangga University Press, 2009. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006. Mudlofir, Ali. “Pendidikan Karakter Melalui Penanaman Etikoa Berkomunikasi Dalam Al-Qur’an", dalam Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol.5 No. 2 (Maret 2011). Mulyono. Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan. Jogjakarta: Ar- Ruzz Media, 2014. Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik-Kualititif. Bandung: Tarsito, 1992. Nawawi, H. Hadari. Penelitian Terapan. Yogyakarta: UGM University Press,1994. Notoatmojdo, Soekidjo. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 sebagaimana dirubah dengan peranturan Pemerintah No 32 tahun 2013 dan diubah lagi dengan PP no 13 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Permendikbud no 49 tahun 2014 tentang Sistem Nasional Pendidikan Tinggi. Permendiknas no 12 tahun 2007, Permendiknas no 13 tahun 2007 tentang standar Tenaga pendidik dan kependidikan Rosidah, Ambar Teguh Sulistiyani. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009. Saodih, Nana dan Sukmadinata. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Siswanto, “Membudayakan Nilai-Nilai Agama dalam Komunitas Sekolah” dalam Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, Vol. 22, No. 1 (Juni 2014). SK Kemendikbud no 234/U/2000 dan diperjelas dengan SK Dirjen DIKTI no 108/DIKTI/Kep/2001. Soetopo, Hendiyat, dan Wasty Soemanto. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan (Jakarta: Bina Aksara, 1988. Solichin, Muchlis. Psikologi Belajar: Aplikasi Teori-Teori Belajar Dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2012. Sudjana, Nana dan Ibrahim. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2009. Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018 391 Mohammad Thoha Suprihatiningrum, Jamil. Guru Profesional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013. Surat Edaran (SE) Dirjen DIKTI no 2920/DT/2007. Suwarno, Tjutju Suniarsih. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Alfabeta, 2011. Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Tilaar, H.A.R. Manajemen Pendidikan Nasional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992. Thoha, Mohammad. Manajemen Pendidikan Islam. Surabaya: Radja, 2016. Undang-Undang RI No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Undang-Undang RI ni 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang RI no 12 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Wardi, Moh. “Penerapan Nilai Pendidikan Agama Islam dalam Perubahan Sosial Remaja”, dalam Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, Vol 7, No. 1 (Juni 2012). Winarno, A. dan Tri Saksono. Kecerdasan Emosional. Jakarta: LAN, 2001. Yusuf, Muhammad. “Pendidikan Karakter Berbasis Qur’ani dan Kearifan Lokal” dalam Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, Vol. 22, No. 1 (Juni 2014). 392 Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Desember 2018